Koalisi Masyarakat Sipil Lampung Tolak Pengesahan RKUHP

Koalisi Masyarakat Sipil Lampung aksi menolak pengesahan RKUHP.

Bandar Lampung (dinamik.id)-Koalisi Masyarakat Sipil Lampung menggelar aksi unjuk rasa di Tugu Adipura, Senin, 05 Desember 2022. Aksi tersebut bertujuan menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan lewat sidang paripurna DPR-RI, Selasa, 6 Desember 2022.

Koalisi yang terdiri dari jurnalis, aktivis, mahasiswa, dan masyarakat sipil tersebut menilai, terdapat pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP yang bisa mengancam demokrasi, kebebasan pers dan kebebasan sipil.

Koordinator aksi Derri Nugraha saat diwawancarai awak media mengatakan, terdapat 17 pasal yang perlu dikaji ulang sebelum pemerintah dan DPR-RI mengesahkan Undang-Undang (UU) tersebut.

Beberapa di antaranya, Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden; Pasal 240 dan Pasal 241 tentang penghinaan terhadap Pemerintah; Pasal 263 tentang penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong; Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap; Pasal 440 tentang penghinaan ringan; dan Pasal 437 mengatur tindak pidana pencemaran; serta Pasal 594 dan Pasal 595 tentang tindak pidana penerbitan dan pencetakan.

“Pasal-pasal tersebut cenderung melemahkan kontrol pers dan suara kritis masyarakat terhadap pemerintah. Misalnya pasal penghinaan presiden. Aturan itu sangat bertentangan dengan hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat dan ekspresinya,”kata dia.

“Setiap kritik yang ditujukan kepada presiden akan berujung pidana dengan dalih menyerang harkat dan martabat presiden atau wakil presiden yang seringkali penilaiannya subjektif, padahal kritik tersebut sebagai wujud dari kebebesan berpendapat,” ujar Derri.

Selanjutnya, pasal 594 dan 595 yang secara eksplisit memuat delik pers merupakan intervensi yang mencederai kebebasan pers. Hal itu karena pengutamaan mekanisme pemidanaan dalam pasal tersebut sama sekali tidak menghargai karya jurnalistik, sekaligus meruntuhkan doktrin lex specialis dalam sistem hukum pers.

“Menjadikan karya jurnalistik sebagai sasaran ‘delik pers’, jelas akan mengancam kebebasan warga mendapatkan akses informasi berkualitas. Tanpa perlindungan terhadap kebebasan pers berarti ancaman terhadap demokrasi, kebebasan sipil, serta hilangnya kontrol publik atas tindakan kesewenang-wenangan,” kata Derri.

Menurut Derri, sama seperti pembentukan beberapa undang-undang sebelumya, penyusunan RKUHP minim ruang partisipasi publik dan kurang transparan. Pemerintah dan DPR-RI terkesan abai dan kurang mendengar masukan dari publik. Padahal, gelombang penolakan atas RKUHP terjadi di berbagai daerah di Indonesia dan kerap memakan korban jiwa.

“Pemerintah dan DPR selama ini seperti ‘tebal kuping’ atas masukan dari publik dan lebih senang melakukan sosialisasi RKUHP, ketimbang membuka partisipasi publik secara bermakna,” katanya.

Selain penolakan pengesahan RKUHP, koalisi juga menyuarakan pencabutan sejumlah undang-undang yang tidak pro rakyat seperti UU Cipta Kerja 2020, UU Minerba 2020, dan UU KPK 2020. Sebab, UU tersebut sangat merugikan masyarakat di berbagai sektor. (Sandi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *