Pendidikan Alternatif Upaya Mewujudkan Kemerdekaan Berpikir

Sabtu, 3 Agustus 2024 - 17:28 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bandar Lampung, (dinamik.id) – Kelompok Studi Kader (Klasika) menggelar DialoKlasika dengan mengusung tema ‘Merayakan Kemerdekaan Belajar, masih pentingkah pendidikan alternatif’. Acara dilaksanakan di Rumah Ideologi Klasika, Sabtu, 3 Agustus 2024.

DialoKlasika chapter I pertama ini menghadirkan tiga pembicara yaitu, Anggota DPD RI sekaligus Ketua IKA FKIP Unila, Bustami Zainudin, Jurnalis Lampung Juwendra Asdiansyah dan Direktur Klasika Ahmad Mufid.

Dalam kesempatan tersebut, Bustami Zainudin menyampaikan bahwa pendidikan alternatif sangat dibutuhkan hari ini. Terlebih pendidikan formal saat ini membuat peserta didik menjadi sama atau seragam. Hal ini tentu tidak bisa memecahkan banyaknya masalah yang ada di masyarakat.

ADVERTISEMENT

addgoogle

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bustami lantas menjelaskan bahwa pemerintah telah mendukung upaya pendidikan alternatif melalui program kurikulum Merdeka Belajar yang telah dicanangkan sejak tahun 2022.

“Kurikulum merdeka belajar merupakan pendidikan alternatif. Melalui kurikulum ini diharapkan peserta didik mampu berpikir out of the box. Kondisi ini mengharuskan dalam kondisi yang merdeka, sehingga berpikir dengan inovasi dan keterbaruan bisa dilakukan,” ujarnya.

Baca Juga :  Tempati Gedung Baru, Fakultas Adab UIN RIL Gelar Tasyakuran

Menurut Bustami, peristiwa dan masalah pendidikan hari ini berbeda dengan 20 tahun yang lalu. Oleh karena itu, jalan keluarnya pun harus banyak dengan cara yang berbeda.

“Kita harus banyak pendidikan alternatif. Ibarat mengunjungi suatu tempat, kita bisa mengunakan alat transportasi darat, air dan udara. Meski banyak cara tetapi tujuannya sama. Begitupun pendidikan, untuk menghasilkan peserta didik yang cakapa dan berkualitas membutuhkan banyak cara,” pungkasnya.

Sementara, Juwendra Asdiansyah menyampaikan, melihat kondisi hari ini rasanya pendidikan alternatif sangat urgen untuk mengimbangi pendidikan formal yang terjebak dalam situasi materialistik institusional.

“Hari ini, semua kalangan bisa mengakses pendidikan. Namun esensi pendidikan itu sendiri mengalami degradasi nilai. Pendidikan akhirnya tidak menciptakan kapasitas, keterampilan atau softskill,” ujarnya.

Baca Juga :  Jadi Timses Arjuno, Nover Ajukan Cuti dari Keanggotaan PWI

Ia menilai, hari ini semakin banyak orang yang memperoleh gelar sarjana namun tidak memiliki kapasitas yang cukup, hal ini tentu berbeda dengan zaman dahulu.

“Sarjana semakin banyak, namun orang pintar semakin sedikit dikit. Ini berbeda dengan dulu. Misalnya seseorang yang mendapatkan gelar profesor maupun doktor hukum, ia belum tentu menguasai keilmuan hukum. Jadi gelarnya tinggi, kapasitasnya kosong,” jelasnya.

Oleh karena itu menurutnya, pendidikan alternatif seperti komunitas belajar, organisasi maupun kelompok masyarakat hari ini sangat dibutuhkan, untuk menjadi counter pendidikan formal hari ini yang semakin materialistik.

Ditempat yang sama, Ahmad Mufid menyampaikan realitas pendidikan hari ini semakin termaterialkan dan mengkerdilkan sebuah proses dan karya. Padahal esensi dari pendidikan adalah sebuah proses dan menciptakan karya.

Mufid lantas menjelaskan bahwa pendidikan dahulu dizaman pra kemerdekaan hadir untuk melawan penjajah. Begitupun masa orde baru, muncul kelompok atau pendidikan alternatif untuk menentang kekuasaan yang otoriter.

Baca Juga :  Launching Perdana, THLC Tegaskan Komitmen Jadi Wadah Pengembangan Bakat Anak di Lampung

“Hari ini bukan penjajah maupun pemerintahan yang otoriter yang menjadi lawan, namun sistem pendidikan kapitalistiklah yang semakin menjauhkan masyarakat dari kecerdasaan intelektual,” jelasnya.

Mufid melanjutkan, mengutip pemikiran filsuf Yunani Kuno yang menyebut bahwa pendidikan bukan hanya proses transformasi informasi melainkan sebuah upaya untuk menumbuhkan potensi manusia dan kemerdekaan berpikirnya.

Ia menegaskan, problem mendasar bangsa Indonesia bukan hanya masalah kemiskinan, kesejahteraan, krisis ekonomi maupun krisis nilai dalam politik, melainkan juga problem epistemologi atau cara berpikir.

“Problem ini bisa diatasi dengan membuka seluas-luasnya ruang dialog. Dialog jangan dimaknai hanya sebatas pertukaran informasi melainkan juga untuk bertukar pengetahuan dan mengatasi cara berpikir masyarakat,” pungkasnya. (Amd)

Berita Terkait

LDS Gelar Bootcamp Volunteer: Anak Muda Digembleng Demi Demokrasi Substansial
Walikota Eva Dwiana Lepas 530 Jamaah Umroh, Fokus Ibadah dan Titip Doa
Walikota Bandar Lampung Dukung Pengembangan UMKM Mitra Adhyaksa
Walikota Eva Dwiana Buka MTQ ke 54 Kota Bandar Lampung
Walikota Bandar Lampung Silaturahmi ke Kodam XXI Raden Inten
Kopri PMII Lampung Soroti Maraknya Kekerasan Seksual
Dishub Tindak Lanjuti Perintah Walikota Bandar Lampung Hidupkan Lagi Transportasi Umum Angkot dan Bus
Pemkot Bandar Lampung Gelar Operasi Pasar di Seluruh Kecamatan Pekan Depan

Berita Terkait

Sabtu, 18 Oktober 2025 - 22:13 WIB

LDS Gelar Bootcamp Volunteer: Anak Muda Digembleng Demi Demokrasi Substansial

Senin, 13 Oktober 2025 - 21:34 WIB

Walikota Eva Dwiana Lepas 530 Jamaah Umroh, Fokus Ibadah dan Titip Doa

Senin, 13 Oktober 2025 - 17:40 WIB

Walikota Bandar Lampung Dukung Pengembangan UMKM Mitra Adhyaksa

Jumat, 10 Oktober 2025 - 21:47 WIB

Walikota Eva Dwiana Buka MTQ ke 54 Kota Bandar Lampung

Jumat, 10 Oktober 2025 - 15:51 WIB

Walikota Bandar Lampung Silaturahmi ke Kodam XXI Raden Inten

Berita Terbaru