Bandar Lampung, (dinamik.id) – Kelompok Studi Kader (Klasika) menggelar DialoKlasika dengan mengusung tema ‘Merayakan Kemerdekaan Belajar, masih pentingkah pendidikan alternatif’. Acara dilaksanakan di Rumah Ideologi Klasika, Sabtu, 3 Agustus 2024.
DialoKlasika chapter I pertama ini menghadirkan tiga pembicara yaitu, Anggota DPD RI sekaligus Ketua IKA FKIP Unila, Bustami Zainudin, Jurnalis Lampung Juwendra Asdiansyah dan Direktur Klasika Ahmad Mufid.
Dalam kesempatan tersebut, Bustami Zainudin menyampaikan bahwa pendidikan alternatif sangat dibutuhkan hari ini. Terlebih pendidikan formal saat ini membuat peserta didik menjadi sama atau seragam. Hal ini tentu tidak bisa memecahkan banyaknya masalah yang ada di masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bustami lantas menjelaskan bahwa pemerintah telah mendukung upaya pendidikan alternatif melalui program kurikulum Merdeka Belajar yang telah dicanangkan sejak tahun 2022.
“Kurikulum merdeka belajar merupakan pendidikan alternatif. Melalui kurikulum ini diharapkan peserta didik mampu berpikir out of the box. Kondisi ini mengharuskan dalam kondisi yang merdeka, sehingga berpikir dengan inovasi dan keterbaruan bisa dilakukan,” ujarnya.
Menurut Bustami, peristiwa dan masalah pendidikan hari ini berbeda dengan 20 tahun yang lalu. Oleh karena itu, jalan keluarnya pun harus banyak dengan cara yang berbeda.
“Kita harus banyak pendidikan alternatif. Ibarat mengunjungi suatu tempat, kita bisa mengunakan alat transportasi darat, air dan udara. Meski banyak cara tetapi tujuannya sama. Begitupun pendidikan, untuk menghasilkan peserta didik yang cakapa dan berkualitas membutuhkan banyak cara,” pungkasnya.
Sementara, Juwendra Asdiansyah menyampaikan, melihat kondisi hari ini rasanya pendidikan alternatif sangat urgen untuk mengimbangi pendidikan formal yang terjebak dalam situasi materialistik institusional.
“Hari ini, semua kalangan bisa mengakses pendidikan. Namun esensi pendidikan itu sendiri mengalami degradasi nilai. Pendidikan akhirnya tidak menciptakan kapasitas, keterampilan atau softskill,” ujarnya.
Ia menilai, hari ini semakin banyak orang yang memperoleh gelar sarjana namun tidak memiliki kapasitas yang cukup, hal ini tentu berbeda dengan zaman dahulu.
“Sarjana semakin banyak, namun orang pintar semakin sedikit dikit. Ini berbeda dengan dulu. Misalnya seseorang yang mendapatkan gelar profesor maupun doktor hukum, ia belum tentu menguasai keilmuan hukum. Jadi gelarnya tinggi, kapasitasnya kosong,” jelasnya.
Oleh karena itu menurutnya, pendidikan alternatif seperti komunitas belajar, organisasi maupun kelompok masyarakat hari ini sangat dibutuhkan, untuk menjadi counter pendidikan formal hari ini yang semakin materialistik.
Ditempat yang sama, Ahmad Mufid menyampaikan realitas pendidikan hari ini semakin termaterialkan dan mengkerdilkan sebuah proses dan karya. Padahal esensi dari pendidikan adalah sebuah proses dan menciptakan karya.
Mufid lantas menjelaskan bahwa pendidikan dahulu dizaman pra kemerdekaan hadir untuk melawan penjajah. Begitupun masa orde baru, muncul kelompok atau pendidikan alternatif untuk menentang kekuasaan yang otoriter.
“Hari ini bukan penjajah maupun pemerintahan yang otoriter yang menjadi lawan, namun sistem pendidikan kapitalistiklah yang semakin menjauhkan masyarakat dari kecerdasaan intelektual,” jelasnya.
Mufid melanjutkan, mengutip pemikiran filsuf Yunani Kuno yang menyebut bahwa pendidikan bukan hanya proses transformasi informasi melainkan sebuah upaya untuk menumbuhkan potensi manusia dan kemerdekaan berpikirnya.
Ia menegaskan, problem mendasar bangsa Indonesia bukan hanya masalah kemiskinan, kesejahteraan, krisis ekonomi maupun krisis nilai dalam politik, melainkan juga problem epistemologi atau cara berpikir.
“Problem ini bisa diatasi dengan membuka seluas-luasnya ruang dialog. Dialog jangan dimaknai hanya sebatas pertukaran informasi melainkan juga untuk bertukar pengetahuan dan mengatasi cara berpikir masyarakat,” pungkasnya. (Amd)