Lampung — Di sebuah bangunan sederhana berlabel pondok pesantren di Lampung Tengah, harapan besar mulai saya rajut. Saya mendaftar sebagai calon peserta program kerja ke Jepang melalui sebuah Lembaga Pendidikan Kerja (LPK) yang mengaku siap menjembatani masa depan. Kala itu, janji dana talangan dan gaji besar di negeri sakura terdengar sangat meyakinkan.
Namun sejak awal, tidak ada kejelasan mengenai rincian biaya pendaftaran. Kami hanya diminta membayar uang makan dan iuran untuk guru pembimbing. Ketika waktu wawancara dengan pihak sekolah Jepang semakin dekat, kami disodorkan secarik kertas yaitu surat pernyataan bahwa jika gagal berangkat, kami harus membayar denda sebesar 100 juta rupiah.
Sebagai seorang mahasiswa, saya tidak berpikir panjang. Saya menandatangani surat itu.
Janji Dana Talangan, Nyatanya Perangkap Hutang
Kami diminta membawa jaminan untuk pinjaman biaya keberangkatan, katanya melalui koperasi di Metro. Proses pinjaman difasilitasi oleh pihak LPK. Mereka menjanjikan bunga pinjaman hanya 25%, dan akad resmi baru akan dilakukan menjelang keberangkatan. Namun hingga kami tiba di Bandara Haneda, Tokyo tak ada akad, tak ada dana cair, hanya janji yang berubah menjadi kabar mengejutkan bunga pinjaman menjadi 75%, disampaikan lewat chat.
Kami benar-benar terdampar. Tanpa uang saku, tanpa pegangan, bahkan tiket pun hasil pinjaman. Kami hanya bisa diam.
Kami diberi rincian pinjaman dan cicilan bulanan. Katanya, biaya sekolah sebesar 65 juta rupiah. Tapi saat kami cek langsung, ternyata hanya sekitar 35 juta per semester. Sisanya? Tidak pernah ada penjelasan ke mana perginya.
Surat “Terima Kasih” dan Ancaman Diam-Diam
Sehari sebelum keberangkatan, kami disodori surat lain, pernyataan “uang terima kasih” untuk LPK. Jumlahnya harus kami tulis sendiri, katanya sukarela. Kami yang kebingungan dan tidak paham, menandatangani saja.
Setelah tiba di Jepang, kami bahkan harus meminjam uang dari senpai hanya untuk membayar apartemen dan makan. Dana talangan yang dijanjikan tak pernah muncul.
Banyak teman saya juga jadi korban. Tapi mereka memilih bungkam. Takut dipulangkan jika bersuara, apalagi jika sampai proses hukum. Kini kami semua terjerat utang ratusan juta rupiah, terikat tanpa kepastian jalan keluar.
Terjebak dalam Sepakat yang Terpaksa
Setelah sampai Jepang, dalam kondisi tanpa sepeser pun uang, kami hanya bisa memandangi layar ponsel. Chat dari pihak LPK muncul bunga pinjaman bukan lagi 25%, melainkan 75%.
Kami terdiam.
Pulang bukan pilihan. Kami sudah menjual mimpi, menggadaikan harapan. Ijazah kami masih ditahan. Sertifikat tanah milik orang tua kami masih berada di tangan mereka. Dan dana talangan yang dijanjikan? Tidak pernah datang.
Kami diam, bukan karena setuju, tapi karena terpaksa. Kami sepakat dalam sunyi, karena merasa sudah tidak punya jalan lain. Kami hanya bisa bertahan, menunggu keajaiban, di negeri asing yang tak memberi ruang bagi suara-suara kecil seperti kami.
Dengan bunga yang mencekik dan tekanan mental yang menghantui tiap malam, kami tetap harus kuliah dan bekerja. Tapi di balik senyum yang terpampang di media sosial, ada tangis yang tak pernah terdengar.
Kami Tidak Ingin Belas Kasih, Kami Ingin Keadilan
Hingga kini, ijazah kami dan sertifikat tanah keluarga masih ditahan. Ketika kami meminta salinan surat pinjaman, pihak LPK justru marah dan mengklaim surat itu tidak pernah ada. Tapi saya masih menyimpan bukti suara mereka rekaman yang menyatakan sebaliknya.
Saya tidak ingin diam lagi. Saya tahu ini berisiko, tapi saya berharap ada bantuan hukum, perlindungan, dan pendampingan dari pihak berwenang. Mungkin bukti kami minim, karena semuanya dirancang rapi dan nyaris tanpa jejak. Tapi apakah kami harus terus diam?
Kami tidak menuntut belas kasihan. Kami hanya ingin keadilan. Bukan untuk menghakimi, tapi agar sistem seperti ini tidak lagi memakan korban.
Narasumber: A (disamarkan)