Oleh: Pina, S.Pd
Indonesia selalu bangga dengan narasi “bonus demografi”, namun lupa menyiapkan panggungnya. Anak-anak usia sekolah, terutama di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), masih bergulat dengan akses yang minim, kualitas yang timpang, dan sistem pendidikan yang kerap dijadikan komoditas politik.
Laporan KPAI tahun 2024 menyebut bahwa 27% anak di wilayah terpencil masih belum mendapatkan akses pendidikan dasar yang layak. Mereka belajar di bangunan reyot, dengan jumlah guru yang tak mencukupi dan minim fasilitas pendukung. Dalam situasi ini, apakah kita masih bisa bicara soal pemerataan?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Masalahnya bukan pada anggaran—tapi pada keberpihakan. Kementerian Keuangan mencatat bahwa alokasi dana pendidikan mencapai 612 triliun di APBN 2024. Namun laporan BPK menunjukkan bahwa puluhan triliun tidak terserap optimal. Anggaran ada, tapi tidak sampai. Penyebabnya? Perencanaan yang lemah, politisasi program, dan buruknya sinergi antara pusat dan daerah.
Sebagai perempuan yang terjun langsung di komunitas dan dunia pendidikan, saya menyaksikan bagaimana kebijakan di atas kerap tak menyentuh realita di bawah. Banyak guru honorer dibayar tak manusiawi, anak-anak belajar tanpa listrik, dan budaya membaca nyaris mati. Ini bukan sekadar krisis pendidikan—ini kegagalan politik dalam menyiapkan masa depan bangsa.
Kita harus sadar: pendidikan bukan ladang proyek, melainkan hak dasar yang menentukan arah bangsa. Politik pendidikan harus dikembalikan pada rakyat. Partisipasi publik, transparansi anggaran, dan keberanian untuk memangkas program seremonial adalah langkah awal. Bangsa ini tak akan besar karena slogan, tapi karena keberanian memperbaiki fondasinya—dan fondasi itu adalah pendidikan yang adil.
(**)