Judicial Activism Putusan MK tentang Pemilu 2029: Suatu Problematika Konstitusional

Minggu, 29 Juni 2025 - 13:01 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bandar Lampung, (dinamik.id) — Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah mulai tahun 2029 telah memicu diskusi luas, tidak hanya dalam aspek teknis penyelenggaraan pemilu, tetapi juga dalam aspek yang lebih mendasar: konstitusionalitas dan batas kewenangan Mahkamah Konstitusi itu sendiri.

Putusan ini memerintahkan agar Pemilu Presiden, DPR, dan DPD diselenggarakan terlebih dahulu, lalu disusul oleh Pemilu Kepala Daerah dan DPRD dalam rentang waktu 2 hingga 2,5 tahun setelahnya.

Meskipun tujuan yang dikedepankan Mahkamah adalah penyederhanaan pemilu dan peningkatan kualitas demokrasi lokal, pendekatan yang ditempuh justru menunjukkan ciri kuat judicial activism.

ADVERTISEMENT

addgoogle

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Yakni tindakan Mahkamah yang tidak hanya menafsirkan hukum, melainkan juga merumuskan norma baru yang berdampak struktural terhadap system ketatanegaraan,” ungkap Nicho Hadi Wijaya, Pegiat Lampung Democracy Studies (LDS). Sabtu (28/06/2025).

Menurutnya, judicial activism dalam konteks Mahkamah Konstitusi Indonesia menjadi perdebatan serius karena lembaga ini seharusnya hanya berfungsi sebagai penguji konstitusionalitas undang-undang, bukan sebagai perancang kebijakan publik.

Ketika MK tidak hanya membatalkan norma, tetapi juga menyusun norma baru dan menetapkan batas waktu pelaksanaan pemilu, maka tindakan tersebut melampaui prinsip dasar pembagian kekuasaan (trias politica) dalam konstitusi.

Baca Juga :  Meski Diguyur Hujan, Konser Kampanye Mirza-Jihan dan Bunda Eva Berlangsung Meriah

“Dalam putusan ini, Mahkamah bukan saja menyatakan pemilu serentak tidak sesuai prinsip demokrasi substantif, tetapi juga memberikan mandat teknis kepada pembentuk undang-undang mengenai jeda waktu pemilu nasional dan daerah, padahal hal tersebut merupakan domain legislatif. Tindakan ini dengan jelas menunjukkan adanya pelebaran kewenangan yudisial yang problematik secara konstitusional,” jelas Nicho.

Selain itu, putusan ini mengandung unsur ultra petita, yakni memberikan putusan melebihi tuntutan yang dimohonkan oleh para pihak. Pemohon dalam perkara ini hanya mempermasalahkan konstitusionalitas pemilu serentak, tetapi MK justru memutuskan lebih jauh dengan menentukan arsitektur pemilu ke depan.

Dalam sistem negara hukum, hal semacam ini menciptakan kekhawatiran terhadap pengambilalihan kewenangan legislatif oleh lembaga yudikatif, apalagi ketika Mahkamah tidak memiliki mekanisme akuntabilitas elektoral sebagaimana DPR.

“Terlebih, alasan-alasan Mahkamah didasarkan pada aspek teknis seperti beban kerja penyelenggara dan kompleksitas pengelolaan logistik, yang sebenarnya lebih tepat diselesaikan oleh lembaga eksekutif dan legislatif melalui reformasi administratif, bukan dengan mengubah struktur normatif pemilu secara permanen melalui putusan yudisial,” tambahnya.

Baca Juga :  Operasi Patuh Krakatau 2024, Satlantas Polres Mesuji Lakukan Binluh ke Pelajar Tertib Lalulintas

Kemudian, kata Nico, dampak dari judicial activism ini bukan hanya pada aspek formil kewenangan, tetapi juga pada aspek praktis yang luas.

Ketika Mahkamah tidak menyediakan pedoman transisi yang memadai atas perbedaan waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah, maka akan timbul kekosongan hukum mengenai masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD yang terpilih pada pemilu sebelumnya.

“Siapa yang akan menjabat selama jeda waktu tersebut? Apakah diperpanjang, diisi oleh penjabat, atau dilakukan pemilu ulang? Ketidakpastian ini dapat membuka ruang bagi politisasi penunjukan penjabat kepala daerah oleh pemerintah pusat, yang pada akhirnya merusak prinsip otonomi daerah dan netralitas birokrasi. Keputusan yang tampaknya teknokratis ternyata membawa dampak politis yang sangat serius,” ujarnya.

Lebih jauh lagi, judicial activism dalam konteks ini dapat berisiko menurunkan legitimasi institusional Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Ketika Mahkamah mulai melangkah terlalu jauh dalam wilayah legislasi, publik dapat mempertanyakan independensinya dan menganggapnya sebagai aktor politik terselubung. Ini membahayakan kredibilitas Mahkamah sebagai pengawal konstitusi yang netral dan objektif.

“Dalam konteks demokrasi konstitusional, menjaga batas antara interpretasi hukum dan pembuatan hukum adalah hal yang mutlak. Ketika batas itu dilanggar, sistem checks and balance terganggu, dan prinsip rule of law dapat tergantikan oleh rule by judges,” jelasnya.

Baca Juga :  EVALUASI PEMILU SERENTAK TAHUN 2019

Dengan demikian, Putusan MK tentang Pemilu 2029 menjadi studi kasus penting dalam diskursus ketatanegaraan Indonesia mengenai batas kewenangan yudikatif.

Ia memperlihatkan bagaimana judicial activism, meski sering dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan praktis, dapat menjadi sumber problematika konstitusional yang lebih luas.

“Dalam negara hukum yang demokratis, setiap lembaga negara harus tetap berada dalam rel kewenangannya agar sistem berjalan seimbang dan konstitusi tetap menjadi fondasi utama kehidupan bernegara,” harapnya.

Diujung celotehan sederhana ini, penting untuk menegaskan kembali batas-batas kewenangan Mahkamah Konstitusi melalui revisi peraturan perundang-undangan yang mengatur Mahkamah, memperkuat sistem kontrol terhadap putusan ultra petita, dan mendorong transparansi yang lebih besar dalam argumentasi putusan.

“Ke depan, Mahkamah harus lebih berhati-hati dalam mengambil peran yang menyentuh wilayah kebijakan, dan harus lebih menekankan prinsip self-restraint yudisial untuk menjaga kemurnian tugasnya sebagai penjaga konstitusi, bukan sebagai perancang institusional,” pungkasnya. Tabik! (AMD)

Berita Terkait

Tok, Komisi VIII Sepakat Naikan Anggaran Kemenag Jadi Rp112,9 T
Mufti Anam Protes: Rakyat Sulit Cari Kerja, Wamen ‘Double Job’ Komisaris BUMN!
Harga Kopi Anjlok, Petani Lampung dan Sumsel Berharap Pemerintah Jaga Stabilitas
Tegas, PWNU Lampung Keluarkan Surat Pernyataan: LGBT Bertentangan dengan Ajaran Islam, Hukum, dan Norma
Bangunan Diduga Gudang Solar di Sukajaya Dilahap Si Jago Merah Jelang Jumatan
Viral di Medsos Bupati Lamteng Tertidur saat Rapat Banleg DPR, Ardito: Wah Ngantuk Banget Saya saat Itu
Laporan Masuk: Damkar Lamsel Langsung Turun Buru Hantu
Perkuat Ketahanan Pangan dan Pemberdayaan Perempuan, PGE Ulubelu Luncurkan Program Hortikultura

Berita Terkait

Jumat, 11 Juli 2025 - 17:36 WIB

Tok, Komisi VIII Sepakat Naikan Anggaran Kemenag Jadi Rp112,9 T

Jumat, 11 Juli 2025 - 16:46 WIB

Harga Kopi Anjlok, Petani Lampung dan Sumsel Berharap Pemerintah Jaga Stabilitas

Jumat, 11 Juli 2025 - 15:04 WIB

Tegas, PWNU Lampung Keluarkan Surat Pernyataan: LGBT Bertentangan dengan Ajaran Islam, Hukum, dan Norma

Jumat, 11 Juli 2025 - 14:56 WIB

Bangunan Diduga Gudang Solar di Sukajaya Dilahap Si Jago Merah Jelang Jumatan

Jumat, 11 Juli 2025 - 14:30 WIB

Viral di Medsos Bupati Lamteng Tertidur saat Rapat Banleg DPR, Ardito: Wah Ngantuk Banget Saya saat Itu

Berita Terbaru

Olahraga

Rangkap Jabatan di Tubuh KONI Lampung Menuai Kritik

Sabtu, 12 Jul 2025 - 14:31 WIB