Tulang Bawang Barat, (Dinamik.id) — Tubaba Art Festival (TAF) kembali digelar untuk kesembilan kalinya pada 31 Oktober–1 November 2025 di Kota Budaya Ulluan Nughik, Panaragan Jaya, Kabupaten Tulang Bawang Barat. Mengusung tema “Machine of Memory”, festival ini menghadirkan beragam kegiatan seni yang merangkai sejarah, ingatan, dan kebudayaan warga Tubaba dalam semangat kreatif yang berkelanjutan.
Festival yang dikenal sebagai festival kesadaran ini tumbuh dari akar komunitas. TAF bermula dari proses belajar di Kelas Kesenian Tubaba (kini Sekolah Seni Tubaba) sejak 2016, dan kini menjadi ruang pertemuan antara warga dengan seniman lintas disiplin dari berbagai daerah bahkan mancanegara.
Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama Pemerintah Daerah Tulang Bawang Barat melalui Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata dengan berbagai lembaga kebudayaan independen, serta didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI melalui platform Karisma Event Nusantara (KEN).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tema “Machine of Memory” tahun ini menjadi refleksi tentang bagaimana ingatan bekerja sebagai mesin sosial yang membentuk identitas dan kebersamaan. Festival mengajak publik melihat bahwa arsip dan kenangan bukan hanya disimpan, tetapi dihidupkan kembali melalui seni—dari tari, musik, hingga teater dan sastra.
Sehari sebelum pembukaan resmi, Sekolah Seni Tubaba menggelar Pesta Sastra Tubaba, sebuah inisiatif penguatan komunitas sastra yang didukung Kementerian Kebudayaan RI. Acara dibuka dengan pembacaan puisi mantra ikan di tepi sungai Ulluan Nughik dan dilanjutkan dengan lomba baca puisi yang unik: berhadiah ayam jago.
Dua buku utama yang menjadi bahan diskusi adalah Rahasia Kesaktian Raja Tua (Zen Hae) dan Empedu Tanah (Inggit Putria Marga), dengan pembicara Arman Az (sejarawan Lampung) dan Hilmi Paiq (Redaktur Budaya, Kompas).
Penampilan Trio Berdua (Bandung) dan Orkes Bada Isya (Bandar Lampung) turut memeriahkan kegiatan sastra ini. Panitia juga membagikan ratusan buku sastra secara gratis kepada pengunjung.
Upacara pembukaan resmi digelar pada Jumat sore (31/10). Sajian pembukaan meliputi Tari Nenemo, pementasan tari anak “Merayakan Nusantara”, serta Tari Tubuh Tapis karya Ahmad Susantri—sebuah eksplorasi kontemporer yang terinspirasi motif tapis Megou Pak.
Selain pertunjukan, pengunjung dapat menikmati berbagai program pendidikan dan ekonomi kreatif, antara lain: Pasar Jenama (pameran UMKM Tubaba), Pameran Seni Rupa Disabilitas “SETARA”, Pameran Arsip Tubaba Cerdas, Lapak Baca & Kemah Literasi, serta lokakarya keramik, screenprint/stensil, dan seni rupa.
Hari kedua (1/11) dimulai dengan Diskusi Publik “Pemberdayaan Ruang Kreatif” bersama Dharma Setyawan (Payungi Metro). Rangkaian hari kedua juga menghadirkan pertunjukan musik, teater musikal anak “Bunian dan Kisah-Kisah Sebelum Tidur”, dan ditutup dengan konser dari Orkes Gajah Duduk, Orkes Bada Isya, serta Banda Naira.
Direktur Festival menegaskan bahwa TAF bukan sekadar perayaan seni, melainkan laboratorium kebudayaan yang menumbuhkan kesadaran: seni sebagai cara hidup dan alat berpikir bersama.
“Melalui Machine of Memory, kami ingin menunjukkan bahwa ingatan adalah energi kreatif yang menghidupkan masa depan,” ujarnya.
Di Tubaba, seni tumbuh dari warga dan untuk warga. Arsip, tradisi, dan kisah hidup masyarakat dijadikan bahan bakar bagi kreasi baru. Dengan semangat nemen, nedes, nerimo, setara, sederhana, dan lestari (Nenemo SSL), Tubaba Art Festival terus menjadi mesin yang menggerakkan imajinasi bersama menuju kehidupan yang lebih beradab dan berkelanjutan. (Amd)


 
					






 
						 
						 
						 
						 
						

