Penulis: Ketua Cabang PMII Bandar Lampung 2009-2010, Direktur Jaringan Suara Indonesia (JSI) Mursaidin Albantani, ST
SETIAP tahun, lebih dari 9 juta Pekerja Migran Indonesia (PMI) merantau ke luar negeri demi mencari penghidupan yang lebih baik. Mereka bekerja di sektor domestik, konstruksi, pertanian, hingga industri manufaktur.
Dalam diam dan peluh, para buruh migran ini menyumbang lebih dari Rp 160 triliun per tahun ke kas negara dalam bentuk remitansi. Namun ironisnya, mereka kerap diperlakukan bukan sebagai pahlawan, melainkan sebagai komoditas yang mudah ditinggalkan dan seringkali dilupakan negara.
Devisa Mengalir, Nyawa Terancam
Buruh migran, terutama perempuan yang bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART), menghadapi berbagai bentuk eksploitasi dan kekerasan. Kasus Adelina Lisao di Malaysia yang meninggal karena disiksa majikannya, adalah simbol tragis dari lemahnya perlindungan negara terhadap PMI.
Bahkan, ratusan buruh migran meninggal setiap tahun akibat kecelakaan kerja, sakit, atau kekerasan. Sebagian bahkan terancam hukuman mati, tanpa pendampingan hukum memadai.
Negara Abai, Layanan Tak Merata
Meski UU No. 18 Tahun 2017 menjanjikan perlindungan menyeluruh, faktanya masih banyak PMI yang diberangkatkan secara ilegal karena proses formal dianggap lambat, mahal, dan penuh pungli.
Layanan pelatihan, pemberdayaan, bahkan informasi soal hak-hak dasar sering tak menjangkau pelosok desa. Negara seolah hanya peduli pada aliran devisa, tapi menutup mata pada harga sosial dan nyawa yang dipertaruhkan.
Perempuan Migran, Korban Ganda
Lebih dari 70% PMI adalah perempuan, yang sebagian besar bekerja di sektor informal tanpa perlindungan hukum yang layak.
Mereka menghadapi pelecehan seksual, jam kerja tanpa batas, dan stigma sosial saat pulang. Negara wajib memberi perlindungan khusus berbasis gender, termasuk fasilitas kesehatan mental dan hukum.
Dari Pahlawan ke Komoditas?
Julukan “pahlawan devisa” justru menjadi ironi ketika PMI tidak menjadi prioritas kebijakan nasional. Penempatan masih dikuasai agen-agen swasta, sementara negara enggan hadir secara utuh. Perlu reformasi total sistem penempatan, dengan pengawasan ketat dan pelibatan komunitas buruh migran.
Solusi Menyeluruh: Hadir Sepenuhnya untuk Buruh Migran
Negara harus hadir dari awal hingga akhir perjalanan buruh migran, bukan hanya memanfaatkan aliran remitansi. Solusi konkret harus ditempatkan pada tiga tahap krusial berikut:
1. Pra-Penempatan
Digitalisasi dan transparansi penempatan berbasis desa.
Pelatihan vokasi dan sertifikasi kerja gratis dan merata.
Penghapusan biaya penempatan; ditanggung negara dan pemberi kerja.
Edukasi dan sosialisasi hukum agar calon PMI melek hak dan risiko.
2. Saat Penempatan
Perjanjian bilateral setara untuk jaminan hukum dan perlindungan kerja.
Diplomasi aktif KBRI/KJRI, dengan layanan pengaduan 24 jam.
Shelter aman dan bantuan hukum cepat bagi korban kekerasan.
Pengawasan majikan dan agen, serta penegakan sanksi pidana.
3. Pasca Pulang
Reintegrasi ekonomi: pelatihan usaha, akses modal, koperasi PMI.
Jaminan sosial dan kesehatan purna PMI.
Desa Migran Produktif (Desmigratif) berbasis APBN/APBD.
Pemetaan keterampilan purna PMI untuk pekerjaan layak.
Dengarlah Suara Mereka
Buruh migran telah lama menjadi penopang ekonomi nasional. Namun suara mereka tenggelam dalam keramaian politik dan kebijakan yang elitis. Jika negara sungguh menganggap mereka “pahlawan”, maka kehormatan, hak, dan masa depan mereka harus dijamin.
Negara tidak boleh absen, dari awal hingga akhir perjalanan mereka. Bukan hanya karena mereka penyumbang devisa, tetapi karena mereka adalah manusia yang layak dihormati dan dimuliakan.