Oleh: Pina, S.Pd
Ketika perempuan datang ke institusi hukum, bukan sekadar membawa data—kami membawa luka, harapan, dan tekad untuk memastikan bahwa keadilan tidak lagi menjadi hak istimewa. Di ruang Ditreskrimum Polda Lampung, bersama para aktivis, mahasiswa, dan lembaga pendamping, kami menyuarakan satu tuntutan tegas: Tegakkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) di Lampung!. Di tengah euforia pasca-Pemilu 2024 yang penuh kompromi politik, korban kekerasan seksual justru semakin tenggelam dalam kerumitan hukum dan budaya diam yang membungkam.
UU TPKS yang telah disahkan pada 2022 sejatinya menjadi tonggak sejarah perjuangan perempuan. Namun realitasnya, implementasi di lapangan masih penuh hambatan: aparat penegak hukum belum sepenuhnya sensitif gender, banyak laporan yang tidak ditindaklanjuti serius, dan korban justru distigmatisasi. Dalam aksi damai di Lampung itu, kami mendesak agar setiap kasus kekerasan seksual ditangani berdasarkan UU TPKS—bukan dengan pendekatan mediasi, apalagi kekeluargaan yang melemahkan keadilan.
Kondisi ini menunjukkan betapa sistem hukum kita belum sepenuhnya berpihak pada korban. Padahal, berdasarkan laporan Komnas Perempuan 2024, kasus kekerasan seksual di Indonesia terus meningkat, khususnya terhadap anak dan remaja perempuan. Di tengah situasi ini, diamnya negara adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Sebagai aktivis perempuan yang terjun langsung mendampingi korban, saya menyaksikan sendiri bagaimana pelecehan sering dianggap remeh, dan trauma korban diabaikan. Maka aksi Maret lalu bukan hanya soal tuntutan, tapi juga peringatan: kita tak akan tinggal diam melihat UU ini dikhianati.
Momentum pasca-Pemilu seharusnya menjadi waktu terbaik bagi pemerintah dan aparat untuk membuktikan keberpihakan pada keadilan substantif. Sudah saatnya negara berdiri di pihak korban—bukan elite pelindung pelaku. UU TPKS harus ditegakkan secara utuh, tanpa syarat. Jika tidak, demokrasi kita hanya akan menjadi panggung kosong tanpa rasa kemanusiaan.(**)