Perempuan, Kekuasaan, dan Krisis Moral Demokrasi Kita

Sabtu, 25 Januari 2025 - 23:01 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Pina, S.Pd – Aktivis Perempuan

Kekuasaan sering kali terlalu maskulin, terlalu elitis, dan terlalu sibuk membicarakan stabilitas sambil mengabaikan suara mereka yang paling rentan: perempuan. Di tengah hiruk pikuk politik nasional—rekonsiliasi, konsolidasi kekuasaan, hingga wacana reshuffle kabinet—isu kekerasan terhadap perempuan seolah hanya menjadi latar sunyi yang tak pernah benar-benar menjadi prioritas.

Laporan Komnas Perempuan 2024 menyebutkan bahwa ada 457.895 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, sebagian besar terjadi di ranah personal, dengan pelaku dari kalangan terdekat korban. Ironisnya, narasi-narasi besar di panggung politik nasional justru mengabaikan fakta ini. Alih-alih memperkuat sistem perlindungan, negara justru sibuk menormalisasi wacana pengampunan dan politik dagang sapi yang menjauhkan rakyat dari rasa keadilan.

Di sisi lain, partisipasi perempuan dalam politik pun masih terjebak simbolisme. Keterwakilan perempuan di DPR RI masih stagnan di bawah angka 22%, dan sering kali hanya menjadi angka pelengkap untuk memenuhi ambang batas kuota 30%. Banyak perempuan yang duduk di parlemen tak diberi ruang strategis, dan lebih fatal lagi: tak sedikit dari mereka direkrut hanya untuk mengamankan suara, bukan untuk memperjuangkan isu gender.

Baca Juga :  Jajaran Kecamatan Mesuji Timur, Gelar Rapat Koordinasi Bulanan

Sebagai aktivis perempuan yang bekerja langsung dengan korban kekerasan, saya melihat bagaimana sistem hukum, sosial, dan politik masih belum sepenuhnya berpihak. Dari prosedur pelaporan yang melelahkan, hingga vonis ringan bagi pelaku, semua menunjukkan bahwa demokrasi kita kehilangan dimensi etik dan keadilan sosialnya. Demokrasi tanpa keberpihakan pada yang tertindas hanyalah prosedur kosong yang melanggengkan kekuasaan bagi segelintir elit.

Baca Juga :  Ketua PWI Lampung Lepas Kunker IKWI ke Monumen Pers di Solo

Hari ini, perempuan tidak bisa hanya menuntut ruang aman—kita harus merebut ruang pengaruh. Kita harus menolak untuk sekadar menjadi “kutipan manis” dalam pidato elite. Perempuan harus memimpin dengan perspektif keadilan, empati, dan keberanian. Demokrasi tanpa keberanian untuk berpihak pada perempuan adalah demokrasi yang cacat secara moral.(***)

Berita Terkait

Hakrab ITSNU Lampung Jadi Ajang Penguatan Solidaritas Mahasiswa Teknologi Informasi
Pahlawan Tak Lahir dari Penindasan: Suara Perlawanan dari Rumah Ideologi Klasika
Wabup Tubaba Buka Pelatihan Siaga Bencana Sekolah PMR Madya dan Wira
Kolaborasi BTB dan IJP Lampung, Edukasi Publik Soal Penyesuaian Tarif Tol
Pemprov dan Puspaga Pinggungan Sebuai Perkuat Kapasitas Konselor di Lampung
Selamat!!! Oking Ganda Miharja Raih Gelar Doktor Ilmu Hukum Universitas Jayabaya
Sukses Gelar Karya dan Luncurkan Buku, TBM Mekar Utama Tutup Festival Literasi Anak Desa Bumi Harjo 2025
Kekerasan Perempuan, Tubuh, dan Relasi Kuasa Tajuk Majelis Jum’at Klasika

Berita Terkait

Minggu, 16 November 2025 - 10:53 WIB

Hakrab ITSNU Lampung Jadi Ajang Penguatan Solidaritas Mahasiswa Teknologi Informasi

Selasa, 11 November 2025 - 12:52 WIB

Pahlawan Tak Lahir dari Penindasan: Suara Perlawanan dari Rumah Ideologi Klasika

Jumat, 7 November 2025 - 22:20 WIB

Wabup Tubaba Buka Pelatihan Siaga Bencana Sekolah PMR Madya dan Wira

Jumat, 7 November 2025 - 15:14 WIB

Kolaborasi BTB dan IJP Lampung, Edukasi Publik Soal Penyesuaian Tarif Tol

Senin, 3 November 2025 - 19:33 WIB

Pemprov dan Puspaga Pinggungan Sebuai Perkuat Kapasitas Konselor di Lampung

Berita Terbaru

Hukum

PWI dan Kejari Tanggamus Bersinergi Edukasi Masyarakat

Jumat, 14 Nov 2025 - 19:10 WIB