‘Kita Manusia’ Menyoal Rasa di Era AI

Senin, 21 Juli 2025 - 16:06 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penulis: Amin Budi Utomo (Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Metro, dan pengelola Lamban Budaya Nuswantara)

Mengusung Judul “Kita Manusia”, Pementasan Semarak anggota Baru (SERBU) XVII UKM IMPAS UIN Jurai Siwo Lampung tahun ini menghadirkan pertunjukan sendratasik yang menggugah penonton. Pementasan berlangsung di Gedung Nuwo Budayo Metro pada Jum’at, 18 Juli 2025, pukul 19.30 WIB.

Para Aktor pemeran yang terlibat antara lain  Rahmad Ardiansyah, Rishela Fitri Aulia, Sagita Enjellina, Elisa Indi, Nisa Yunita, Asna Malini, Citra Safrotul Ilmi, Diyah Intan Cahya, Mona Rahmawati, Siti Nurgiyanti, Wilda Arifah, Alfarizky Otadan dan Tim Produksi Pertunjukan dmeliputi Pimpinan produksi : Mona Rahmawati, Stage manajer : Chyntia Zahra, Sutradara: Arum Trisnaning Tyas, Koreografer : Elisa Indi Rahmadani, Komposer : Ahmad Rifai, Penata Rupa : Rishela Fitri Aulia, Penata musik : Ari Chadilak, Penata panggung dan cahaya : Fajar Adi Fatana, Penata rias dan busana: Lili Rahmawati.
 
Kita Manusia adalah ide tentang penggambaran kegelisahan manusia dalam menghadapi perkembangan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence). Melalui simbol-simbol, isu eksistensialisme di pertanyakan ulang melalui lirik, musik, gerak, dan teatrikal di panggung serta didukung dengan layer media visual yang tampak terkesan Futuristik menawarkan representasi di tahun 2087.

ADVERTISEMENT

addgoogle

SCROLL TO RESUME CONTENT

Paradoks Kedekatan Hubungan sosial di Era Digital

Dalam potongan kalimat “Dunia dipenuhi perdebatan manusia. Antara peluk dan piksel. Ketika waktu membawa jarak, ingatan akan kebiasaan-kebiasaan kecil itulah yang perlahan kembali. Bukan sebagai beban, tapi sebagai akar yang memberi arah.

Sebuah kisah tentang keheningan yang mendidik, tentang warisan yang tak tertulis, dan tentang bagaimana sesuatu yang tampak sederhana bisa menyala lama meski tak lagi terlihat” merepresentasikan dinamika hubungan manusia di era digital.

Kalimat ini menyoroti kontradiksi antara kedekatan fisik (peluk) dengan interaksi virtual (piksel). Dunia kini dipenuhi oleh “perdebatan manusia” bukan hanya dalam arti literal—perbedaan pendapat—tetapi juga secara metaforis, sebagai pertentangan antara nilai-nilai lama yang hangat dan kebiasaan baru yang serba cepat serta visual.

Baca Juga :  Judi Online Ancaman Tersembunyi dan Upaya Komprehensif Melindungi Bangsa

Dalam kerangka Global Village McLuhan (Edy Suryo Wirawan, Jakarta : 2018), teknologi komunikasi, khususnya internet dan media digital, telah meruntuhkan sekat-sekat geografis. Manusia kini hidup dalam satu “desa global” di mana informasi beredar secepat cahaya, dan semua orang bisa saling terhubung secara instan.

Namun, McLuhan juga mengingatkan bahwa koneksi teknologi tidak serta merta menghadirkan kedekatan emosional. Ini sejalan dengan metafora “peluk dan piksel”: pelukan nyata membawa kehangatan, sentuhan, dan emosi, sedangkan “piksel”—sebagai representasi komunikasi digital—sering kali terasa dingin, terfragmentasi, dan sementara.

Kalimat “Ketika waktu membawa jarak, ingatan akan kebiasaan-kebiasaan kecil itulah yang perlahan kembali” menunjukkan bahwa meskipun teknologi menghadirkan keterhubungan, manusia tetap merindukan nilai-nilai sederhana seperti kebiasaan, momen bersama, dan hubungan personal yang mendalam.

Teknologi mampu menyatukan orang secara virtual, tetapi tidak mampu menggantikan makna emosional dari interaksi langsung. Pada titik tertentu, manusia menyadari bahwa apa yang membentuk identitas, akar, dan makna hidup bukanlah pertukaran data instan, melainkan pengalaman yang terjalin dalam keseharian—“warisan yang tak tertulis” seperti kasih sayang, kebiasaan keluarga, atau nilai budaya.

McLuhan menekankan bahwa media bukan sekadar saluran komunikasi, tetapi juga membentuk cara manusia berpikir, berperilaku, dan berinteraksi. Dalam era media digital, realitas sering dibentuk oleh citra dan narasi visual (piksel), yang dapat menciptakan ilusi kedekatan.

Namun, di balik kedekatan semu itu, manusia bisa merasa terisolasi karena hubungan emosional tidak selalu terbentuk melalui layar. Potongan kalimat ini menegaskan paradoks tersebut: teknologi memampukan “kehadiran” tanpa sentuhan, “komunikasi” tanpa kedalaman.

Ungkapan “Sebuah kisah tentang keheningan yang mendidik, tentang warisan yang tak tertulis, dan tentang bagaimana sesuatu yang tampak sederhana bisa menyala lama meski tak lagi terlihat” juga relevan dengan kritik terhadap modernitas digital.

Baca Juga :  Kota Baru dan Strategi Publik Private Partnership

Keheningan—yang mungkin muncul dari keterputusan dengan teknologi atau dari refleksi diri—dapat mendidik manusia untuk kembali menemukan nilai-nilai yang lebih mendasar. Warisan tak tertulis merujuk pada hal-hal yang tidak dapat direkam atau direduksi menjadi data, seperti nilai kemanusiaan, rasa cinta, atau makna spiritual.

Di era “global”, pesan ini terasa semakin kuat: kemajuan teknologi tidak boleh melupakan akar kemanusiaan yang sejati.

Mengungkap Kedalaman Makna dan Repetisi Gagasan pada lirik / dialog

Cuplikan teks pada naskah yang dipentaskan pada umumnya memiliki daya puitis yang kuat, namun juga tidak terlepas dari potensi klise. Dari sisi kebahasaan, penggunaan metafora seperti “peluk dan piksel” menghadirkan kontras yang menarik antara kehangatan manusiawi dan dinginnya teknologi.
Namun, pasangan kata ini dapat terasa klise jika tidak disertai konteks yang segar atau pengembangan yang lebih dalam. “Peluk” dan “piksel” adalah dua kata yang kini sering dipertentangkan dalam wacana sastra modern, sehingga memerlukan pemaknaan baru agar tidak sekadar menjadi hiasan kata.

Struktur kalimat yang dipilih cenderung fragmentaris, dengan beberapa kalimat pendek yang lebih bersifat impresif daripada deskriptif. Misalnya, “Antara peluk dan piksel” berdiri sendiri sebagai satu kalimat. Hal ini memang dapat menciptakan kesan dramatik dan ritmis, tetapi bila digunakan berulang tanpa penjelasan yang memadai, bisa mengurangi kedalaman makna.

Penggunaan frasa seperti “warisan yang tak tertulis” dan “sesuatu yang tampak sederhana bisa menyala lama meski tak lagi terlihat” juga menyiratkan gaya bahasa simbolik, namun cenderung mengikuti pola bahasa klise sastra kontemporer yang mengandalkan diksi indah tetapi minim kejutan makna.

Dari perspektif pendekatan sastra, kekuatan narasi ini ada pada upaya membangun nuansa emosional melalui metafora dan imaji. Namun, kelemahannya adalah kurangnya eksplorasi unik yang mampu memecah ekspektasi pembaca.

Kata-kata seperti “keheningan yang mendidik” atau “akar yang memberi arah” sudah sering ditemukan dalam prosa reflektif, sehingga berisiko terjebak pada pengulangan tema umum tentang kerinduan, akar, dan nilai-nilai sederhana.

Baca Juga :  Mosi Tidak Percaya DPR #KawalPutusanMK

Untuk menghindari klise, penulis bisa menambahkan detail sensorik atau simbol-simbol kontekstual yang lebih spesifik, sehingga makna tidak hanya berhenti pada kata-kata puitis, tetapi juga menghadirkan narasi yang segar dan autentik.

Mengurai Pesan Filosofis dalam Pementasan Kita Manusia

Pementasan “Kita Manusia” menghadirkan eksplorasi futuristik tentang hubungan manusia dan kecerdasan buatan, namun di balik gagasan segar tersebut terdapat beberapa oto kritik yang perlu diperhatikan.

Konsep yang sangat filosofis dan abstrak membuat sebagian penonton kesulitan menangkap pesan utama, terutama jika simbol-simbol teknologi dan visualisasi futuristik tidak diimbangi dengan narasi emosional yang jelas.

Dominasi teknologi di atas panggung—seperti layer visual, efek suara elektronik, dan proyeksi—berisiko menenggelamkan kehadiran aktor serta ekspresi manusia yang seharusnya menjadi pusat cerita.

Dari sisi dramaturgi, alur dan tempo terkadang terasa monoton, karena terlalu mengandalkan gerak dan musik tanpa jeda dialog atau momen refleksi. Simbolisasi yang padat juga berpotensi membingungkan, terlebih jika tidak ada pengantar atau penjelasan tambahan bagi penonton.

Di sisi teknis, efek cahaya strobe, suara sintetis keras, atau visual intens dapat memicu ketidaknyamanan sensorik. Selain itu, fokus besar pada teknologi membuat aspek keintiman dan kedekatan emosional antara cerita dan penonton terasa kurang menyentuh.

Kehadiran penulis naskah sangat penting untuk dihadirkan dalam informasi pertunjukan atau sesi pasca-pertunjukan, karena dialah yang merancang pesan, simbol, dan alur pemikiran di balik pertunjukan ini. Melibatkan penulis naskah dapat membantu memperjelas maksud filosofis dan eksistensial yang terkandung, sekaligus memberikan jembatan interpretasi bagi penonton.

Secara keseluruhan, “Kita Manusia” menawarkan gagasan yang kuat, tetapi memerlukan keseimbangan dalam memvisualisasikan gagasan antara kemajuan teknologi dan kekuatan narasi manusiawi agar pesan eksistensialisme yang diusung dapat lebih kuat.

Berita Terkait

Buruh Migran: Pejuang Devisa yang Terlupakan
Koperasi ala Budi Arie: Siapa Kerja, Siapa Dapat Nama?
SPMB dengan Tes Potensi Akademik (TKA) Menuai Apresiasi
Dari Krisis ke Solusi: Strategi Mengakhiri Banjir Bandar Lampung
Pendidikan di Persimpangan, Tantangan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)
Anak Muda, Gen Z dan Millenial Harus Menentukan Pilihan
Ayo Healing dan Nongkrong di Senja Malaka – Lebih dari Sekadar Pantai!
Zona Kuning Lampung: Tantangan Besar bagi Para Kepala OPD!

Berita Terkait

Kamis, 31 Juli 2025 - 15:27 WIB

Buruh Migran: Pejuang Devisa yang Terlupakan

Senin, 21 Juli 2025 - 16:06 WIB

‘Kita Manusia’ Menyoal Rasa di Era AI

Kamis, 19 Juni 2025 - 14:26 WIB

Koperasi ala Budi Arie: Siapa Kerja, Siapa Dapat Nama?

Selasa, 17 Juni 2025 - 13:17 WIB

SPMB dengan Tes Potensi Akademik (TKA) Menuai Apresiasi

Senin, 3 Maret 2025 - 20:54 WIB

Dari Krisis ke Solusi: Strategi Mengakhiri Banjir Bandar Lampung

Berita Terbaru

Opini

Buruh Migran: Pejuang Devisa yang Terlupakan

Kamis, 31 Jul 2025 - 15:27 WIB

Tulangbawang Barat

Polres Tubaba Gelar Pemeriksaan Kesehatan Berkala untuk Personel

Kamis, 31 Jul 2025 - 14:04 WIB