Penulis : Halimatussaβdiah Maulidya Ulfa
Bandar Lampung, (Dinamik.id) – Setiap daerah di Indonesia memiliki nilai budaya yang menjadi pedoman hidup masyarakatnya.
Di Lampung, ada falsafah hidup yang disebut Piil Pesenggiri. Nilai ini mengajarkan
pentingnya menjaga harga diri, malu berbuat salah, dan aktif dalam kehidupan sosial. Bagi
orang Lampung, Piil Pesenggiri merupakan dasar dalam bertingkah laku dan bersikap, baik
dalam keluarga maupun di tengah masyarakat.
Di tengah perubahan zaman, peran perempuan juga ikut berkembang. Perempuan kini tidak
hanya aktif di rumah, tapi juga di sekolah, kampus, organisasi, hingga ruang publik. Banyak
perempuan yang mulai bersuara, memperjuangkan haknya, dan ikut memajukan masyarakat.
Salah satu wadah yang mewakili gerakan perempuan di kalangan mahasiswa adalah KOPRI
(Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri). KOPRI adalah tempat berkumpul dan
belajar bagi kader perempuan muda yang ingin ikut membangun masyarakat dan melawan
ketidakadilan, khususnya terhadap perempuan.
Perempuan Lampung yang tergabung dalam KOPRI tentu punya tantangan dan keunikan
tersendiri. Di satu sisi, mereka membawa semangat perjuangan untuk setara. Tapi di sisi lain,
mereka juga hidup dalam nilai budaya seperti Piil Pesenggiri, yang sering dianggap hanya
cocok untuk kehidupan tradisional. Padahal, jika dilihat lebih dalam, nilai-nilai dalam Piil
Pesenggiri justru bisa menjadi kekuatan untuk membentuk gerakan perempuan yang kuat,
berani, dan tetap menjaga martabat.
πΏππππ£ππ¨π: ππππ‘ πππ¨ππ£ππππ§π πππ£ ππ₯ππ§ππ© ππ’ππ£π¨ππ₯ππ¨π πππ§ππ’π₯πͺππ£ πππππ
1. Sakai Sambayan (Gotong Royong)
Semangat saling bantu yang menekankan kolektivitas. Dalam gerakan KOPRI, nilai ini
hadir lewat solidaritas antarkader perempuan: saling menguatkan dalam menghadapi
ketidakadilan, membangun ruang advokasi bersama, serta mendorong pemberdayaan
yang tidak individualistik.
2. Nemui Nyimah (Ramah Tamah)
Sikap terbuka dan menghargai perbedaan. Bagi KOPRI, nemui nyimah berarti
membangun gerakan yang inklusif dan dialogis. Nilai ini tercermin dalam kaderisasi
yang empatik, saling menghargai, dan jauh dari pendekatan otoriter.
3. Nengah Nyampur (Berbaur)
Partisipasi aktif dalam masyarakat. KOPRI menghidupkan nilai ini dengan mendorong
perempuan hadir di ruang public berorganisasi, berdiskusi, hingga terlibat dalam
pengambilan Keputusan sebagai pemimpin dan penggerak perubahan.
4. Juluk Adek (Memiliki Nama Baik)
Menjaga kehormatan lewat sikap jujur, kritis, dan bermartabat. Dalam KOPRI, juluk
adek bukan soal citra pasif, tapi integritas dalam bersikap, konsistensi dalam
memperjuangkan keadilan, serta menjaga kemurnian gerakan dari nilai-nilai yang
membebaskan.
πΏππ£ππ’ππ π ππ£π©ππ§ππ π¨π: ππͺπ‘π©πͺπ§ππ‘, ππ©πͺπ π©πͺπ§ππ‘ πππ£ πππ£πππ§
Perempuan Lampung hari ini hidup di tengah tarik-menarik antara nilai adat,ketimpangan
sosial, dan konstruksi gender yang terus bergeser. Mereka menghadapi tantangan eksternal maupun internal antara warisan tradisi dan impian pribadi. Nilai luhur seperti Piil Pesenggiri bisa menjadi kekuatan, namun dalam struktur patriarki sering berubah menjadi alat kontrol.
Perempuan diajarkan diam demi menjaga βmalu saiβ dan nama baik keluarga.
Secara struktural, peran perempuan masih dibatasi stereotip. Sikap kritis dianggap
membangkang, keberanian dinilai melawan kodrat. Namun, dalam ketegangan itulah gerakan seperti KOPRI menemukan maknanya sebagai ruang belajar dan bertanya tentang kebebasan tanpa kehilangan akar budaya. Nilai-nilai tradisi pun perlu dilihat sebagai pijakan masa depan,
bukan beban masa lalu.
ππ©π§ππ©πππ πππ£πππ ππ©ππ£ ππ£π€π«ππ©ππ: πππ’ππͺπ’ππ ππ£ ππ©π€π¨ ππ€π ππ‘ πππ‘ππ’ πππ§ππ ππ£ πππ§ππ’π₯πͺππ£
Gerakan perempuan seperti KOPRI menemukan kekuatannya justru saat mampu menjahit nilai lama dengan kesadaran baru. Tidak perlu memilih antara modern atau tradisional, karena keduanya bisa bersatu dalam gerak yang relevan dan membumi. Membumikan Piil Pesenggiri bukan berarti kembali ke ruang pembatas, melainkan membacanya ulang sebagai sumber
pembebasan: rasa malu dimaknai sebagai malu pada ketidakadilan, dan harga diri diukur dari keberanian bersuara.
Nilai-nilai lokal seperti sakai sambayan, nemui nyimah, nengah nyampur, dan juluk adek bisa menjadi napas gerakan: gotong royong, kasih, keberanian hadir, dan jejak perjuangan bermartabat. KOPRI menunjukkan bahwa menjadi perempuan Lampung dan menjadi
perempuan merdeka bukanlah dua hal yang harus dipisahkan. Emansipasi yang paling kuat justru lahir dari akar budaya sendiri.
πππ£πͺπ©πͺπ₯
Menjadi perempuan yang berani tidak harus berarti meninggalkan budaya. Dalam falsafah Piil Pesenggiri, kita menemukan bahwa kehormatan dan harga diri bukan penghalang perjuangan, tapi justru sumber tenaganya. Bagi perempuan KOPRI, nilai-nilai ini bukan beban masa lalu, melainkan napas yang menyatu dalam langkah gerakan hari ini.
Di tengah arus zaman, identitas budaya bukan tembok, melainkan akar. Dan dari akar itulah perempuan bisa tumbuh, menantang ketidakadilan dengan keberanian yang bersahaja, dengan
suara yang bersumber dari tanah tempat ia berpijak.(**)