Budiyono: Sang Intelektual Organik!

Senin, 20 Oktober 2025 - 20:45 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penulis : Ghraito Arip (Menteri Koordinator Hukum, HAM dan Demokrasi BEM Universitas Lampung)

DALAM sejarah intelektual dunia, ada jurang panjang yang memisahkan antara mereka yang berpikir dan mereka yang berjuang.

Dunia akademik sering dipandang sebagai menara gading tempat pengetahuan diproduksi secara steril dari keringat dan luka masyarakat.

ADVERTISEMENT

addgoogle

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun di tengah arus pragmatisme akademik dan komersialisasi pendidikan tinggi, masih lahir sosok-sosok yang menolak keterasingan itu, yang memilih untuk menautkan ilmunya pada denyut kehidupan rakyat.

Di Universitas Lampung, nama Budiyono, Dosen Fakultas Hukum, menjadi representasi nyata dari sikap ini: seorang intelektual yang tidak berhenti pada tataran teoritis, tetapi menghidupkan teori dalam praksis pembebasan sosial.

Antonio Gramsci, dalam karyanya Prison Notebooks, menulis bahwa setiap kelas sosial yang berjuang untuk dominasi politik membutuhkan intelektualnya sendiri.

Ia membedakan dua tipe intelektual: intelektual tradisional mereka yang merasa berdiri di atas dan di luar masyarakat dan intelektual organik, yakni mereka yang tumbuh dari rahim rakyat dan memperjuangkan kesadarannya.

Dalam kerangka Gramscian ini, Budiyono tidak sekadar seorang akademisi hukum, tetapi seorang intelektual organik yang menjembatani dunia teori dan dunia perjuangan.

Ia tidak menulis dan mengajar untuk kepentingan akademik semata, tetapi untuk membangun kesadaran kritis tentang ketidakadilan struktural yang masih menindas rakyat.

Dalam pengamatan saya sebagai mahasiswa, Budiyono bukanlah tipe dosen yang mengurung diri di ruang kelas dengan slide presentasi dan rutinitas administratif. Ia menjadikan kelas sebagai ruang perlawanan terhadap formalisme pengetahuan.

Ia mengajak mahasiswa memahami hukum tidak sebagai teks yang kaku, tetapi sebagai arena pertarungan kepentingan. Di tangannya, hukum tidak berhenti menjadi kumpulan pasal, melainkan menjadi pisau analisis yang menyingkap bagaimana kekuasaan bekerja melalui legitimasi hukum.

Pemikiran seperti ini sejalan dengan pandangan Gramsci bahwa intelektual sejati harus terlibat dalam “perang posisi” perjuangan kultural dan ideologis untuk melawan hegemoni dominan yang melanggengkan ketimpangan sosial.

Baca Juga :  Waspada Politisasi ASN!

Budiyono mempraktikkan pengetahuan bukan hanya di ruang akademik, tetapi juga di medan sosial. Ia hadir dalam advokasi rakyat yang berhadapan dengan penggusuran tanah, mendampingi buruh yang diabaikan haknya, serta berdiri bersama mahasiswa yang menolak ketidakadilan.

Dalam aktivitas itu, ia tidak hadir sebagai pengamat netral, melainkan sebagai bagian dari perjuangan. Hal ini mengingatkan kita bahwa dalam pandangan Gramsci, netralitas intelektual adalah mitos.

Tidak ada pengetahuan yang bebas nilai; setiap pemikiran selalu berpihak, dan keberpihakan itu harus ditentukan secara sadar.

Budiyono telah memilih keberpihakan kepada mereka yang tertindas, menjadikan intelektualitasnya alat untuk menyalakan kesadaran, bukan sekadar menambah gelar akademik.

Perjalanan panjang Budiyono menunjukkan bahwa menjadi dosen bukanlah semata profesi, melainkan panggilan intelektual dan moral.

Ia tidak berhenti pada pengajaran formal, tetapi memaknai pendidikan sebagai proses pembebasan. Ia menolak logika neoliberalisme pendidikan yang mengubah kampus menjadi korporasi pengetahuan dan mahasiswa menjadi konsumen.

Dalam berbagai diskusi, ia sering menegaskan bahwa universitas harus menjadi ruang publik kritis, bukan pabrik ijazah. Pandangan ini resonan dengan gagasan critical pedagogy Paulo Freire, yang menyebut pendidikan sebagai praksis kebebasan tempat manusia belajar untuk membaca dunia dan mengubahnya.

Budiyono menjelmakan ide ini di dalam konteks lokal Lampung: pendidikan hukum yang berpihak, reflektif, dan transformatif.

Sikapnya yang senantiasa hadir bersama rakyat juga menandai kehadiran etika intelektual yang jarang ditemukan di kampus modern. Banyak akademisi yang memilih jalan aman: menulis di jurnal, tetapi bungkam terhadap ketimpangan sosial yang nyata di sekitarnya.

Budiyono berbeda. Ia menjadikan penelitian dan pengabdian bukan sebagai formalitas tri dharma, melainkan sebagai counter-hegemonic practice upaya membalik arah dominasi pengetahuan dari elit ke rakyat.

Baca Juga :  Judi Online Ancaman Tersembunyi dan Upaya Komprehensif Melindungi Bangsa

Ia menolak menjadikan hukum sebagai instrumen dominasi, dan justru mengajarkannya sebagai instrumen emansipasi. Di sini, ia menghidupkan apa yang oleh Gramsci disebut sebagai “hegemoni tandingan”: perjuangan untuk merebut makna dan kesadaran melalui kerja intelektual yang berpihak.

Ketika banyak dosen mengejar indeks sitasi dan reputasi jurnal, Budiyono justru menambatkan reputasinya pada kerja sosial yang konkret.

Ia tidak mencari ketenaran, tetapi kebermanfaatan. Ia tidak membangun karier di atas kesunyian rakyat, melainkan menumbuhkan ilmu di tengah penderitaan rakyat.

Dalam konteks inilah, sosoknya menghadirkan bentuk baru dari apa yang disebut Gramsci sebagai organic intellectual leadership pemimpin intelektual yang tidak hanya membimbing melalui wacana, tetapi melalui kehadiran dan keterlibatan nyata di medan perjuangan.

Keterlibatannya dengan masyarakat akar rumput juga mengoreksi paradigma universitas sebagai ruang yang tercerabut dari kenyataan sosial.

Budiyono menunjukkan bahwa kampus seharusnya menjadi laboratorium sosial, tempat teori diuji dan dikembangkan berdasarkan pengalaman hidup rakyat.

Melalui pengabdian dan advokasinya, ia menjadikan hukum sebagai sarana rekonstruksi keadilan sosial. Dalam konteks ini, hukum bukan lagi sekadar sistem normatif, melainkan arena dialektika antara kekuasaan dan rakyat.

Posisi intelektual seperti Budiyono diperlukan untuk memastikan agar dialektika itu tidak dimenangkan oleh kepentingan modal dan birokrasi, melainkan oleh kepentingan kemanusiaan.

Penulis sebagai mahasiswa Universitas Lampung, saya memandang sosok Budiyono sebagai inspirasi bagi gerakan mahasiswa untuk memahami kembali arti berpikir kritis dan bertindak progresif.

Ia mengajarkan bahwa intelektualitas tidak boleh berhenti pada kritik verbal; ia harus menjelma menjadi praksis sosial. Dalam setiap narasinya, Budiyono menegaskan bahwa ilmu yang sejati adalah ilmu yang berpihak pada kehidupan.

Ia menolak dikotomi antara berpikir dan berjuang, antara dosen dan aktivis. Dalam dirinya, dua hal itu menyatu dalam kesadaran etis bahwa pengetahuan tanpa keberpihakan adalah kesia-siaan.

Baca Juga :  Dari Krisis ke Solusi: Strategi Mengakhiri Banjir Bandar Lampung

Kritisisme Budiyono terhadap tatanan sosial dan keberpihakannya kepada rakyat sesungguhnya merupakan bentuk kontinuitas dari perjuangan intelektual progresif di Indonesia.

Budiyono melanjutkan jejak itu dalam ruang universitas, menjadikan kampus bukan sebagai tempat yang steril dari perlawanan, melainkan sebagai ruang produksi kesadaran dan solidaritas.

Ia mengingatkan kita bahwa universitas seharusnya bukan menara gading, melainkan mercusuar peradaban tempat ilmu pengetahuan berpadu dengan perjuangan sosial.

Dalam konteks Lampung dan Indonesia hari ini, di mana ketimpangan sosial dan ketidakadilan hukum masih menjadi luka struktural, sosok seperti Budiyono menjadi penting bukan hanya karena pemikirannya, tetapi karena keberaniannya.

Ia menolak tunduk pada logika kekuasaan, tetapi berdiri di sisi rakyat dengan segala risiko. Ia tidak hanya menulis tentang keadilan, tetapi mengupayakannya.

Dalam dirinya, teori Gramsci menemukan bentuk nyatanya: intelektual yang tidak hidup di atas masyarakat, tetapi hidup bersama masyarakat mereka yang mengubah pengetahuan menjadi energi sosial untuk melawan hegemoni dan menegakkan martabat kemanusiaan.

Pada 19 Oktober 2025, Budiyono genap berusia 51 tahun. Usia yang tidak lagi muda, tetapi penuh kedewasaan intelektual dan kematangan moral. Di usia itu, ia tidak berhenti menulis dan mengajar, tetapi terus menyalakan bara perjuangan di hati mahasiswa dan rakyat.

Seperti api yang tidak padam di tengah angin perubahan, Budiyono menunjukkan bahwa usia bukanlah batas bagi semangat perjuangan, melainkan penanda keteguhan iman pada kebenaran dan keadilan.

Dalam ulang tahunnya yang ke-51 ini, kita tidak hanya merayakan perjalanan seorang dosen, tetapi meneguhkan makna seorang intelektual organik yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk rakyat, bagi ilmu yang membebaskan, dan bagi kemanusiaan yang seutuhnya. (*)

Berita Terkait

Hari Tani Nasional 2025 – Lampung sebagai Lokomotif Hilirisasi Pangan untuk Indonesia Emas
Zero Accident BGN Masih Omon-Omon?
Demokrasi Indonesia di Ujung Tanduk: Saatnya Reformasi Total
Student Loan: Solusi Adil bagi Kelompok Rentan dalam Dunia Pendidikan yang Timpang
Buruh Migran: Pejuang Devisa yang Terlupakan
‘Kita Manusia’ Menyoal Rasa di Era AI
Koperasi ala Budi Arie: Siapa Kerja, Siapa Dapat Nama?
SPMB dengan Tes Potensi Akademik (TKA) Menuai Apresiasi

Berita Terkait

Senin, 20 Oktober 2025 - 20:45 WIB

Budiyono: Sang Intelektual Organik!

Rabu, 24 September 2025 - 13:11 WIB

Hari Tani Nasional 2025 – Lampung sebagai Lokomotif Hilirisasi Pangan untuk Indonesia Emas

Minggu, 21 September 2025 - 10:04 WIB

Zero Accident BGN Masih Omon-Omon?

Sabtu, 30 Agustus 2025 - 19:30 WIB

Demokrasi Indonesia di Ujung Tanduk: Saatnya Reformasi Total

Kamis, 7 Agustus 2025 - 13:33 WIB

Student Loan: Solusi Adil bagi Kelompok Rentan dalam Dunia Pendidikan yang Timpang

Berita Terbaru

DPRD Metro

Fraksi PKS DPRD Lampung Kawal Pembenahan BUMD Provinsi

Senin, 20 Okt 2025 - 20:59 WIB

Opini

Budiyono: Sang Intelektual Organik!

Senin, 20 Okt 2025 - 20:45 WIB

Parpol

Resmi Diumumkan, Ini Daftar 145 Pengurus Golkar Lampung

Senin, 20 Okt 2025 - 19:31 WIB