Jakarta (dinamik.id) – KPK memastikan pihaknya bakal terus mengembangkan perkara suap penerimaan mahasiswa baru Rektor Universitas Lampung (Unila). Saat ini, KPK tengah melakukan upaya-upaya paksa dalam mengusut perkara itu.
“Masalah OTT Unila, kita juga tahu OTT baru dua hari yang lalu. Nah, tentunya upaya-upaya paksa lain kami sedang lakukan ini,” kata Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto dalam konferensi pers di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin 22 Agustus 2022.
Karyoto optimistis perkara Rektor Unila ini bakal terus berkembang. Dia menyebut OTT memiliki banyak turunan perkara.
“Nanti pada saatnya, kalau ini berkembang lagi, OTT itu anaknya banyak. Ini anak pertama, anak sulung, sampai anak bungsu nanti,” tegas Karyoto.
Namun, Karyoto enggan menyebutkan lebih rinci pengembangan perkara Rektor Unila tersebut. Setidaknya, sampai KPK memiliki alat bukti yang cukup.
“Kita tidak akan mengatakan ‘oh ini ada sekian-sekian’ tanpa ada alat bukti dulu,” ujarnya.
Adapun terkait pihak mana saja yang terlibat, kata Karyoto, hal itu bakal terbukti setelah KPK melakukan pendalaman dari dokumen-dokumen yang ada. Termasuk mendalami jumlah mahasiswa yang lulus lewat jalur suap.
“Nanti kami akan temukan mungkin dari sisi dokumen-dokumen yang ada, siapa-siapa saja. Kalau tarifnya Rp 100-350 juta, terkumpul Rp 5 miliar lebih, berarti kan bisa dibagi berapa, bervariasi,” tutupnya.
Dalam perkara ini, KPK menjerat 4 tersangka, yaitu:
1. Karomani selaku Rektor Universitas Lampung (Unila);
2. Heryandi selaku Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila;
3. Muhammad Basri selaku Ketua Senat Unila; dan
4. Andi Desfiandi selaku swasta.
Awalnya, pada 2022, Unila ikut menggelar Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selain itu, Unila membuka jalur khusus, yaitu Seleksi Mandiri Masuk Unila atau Simanila.
Wewenang Karomani sebagai Rektor Unila terkait mekanisme Simanila tersebut. Selama proses itu, Karomani diduga aktif terlibat langsung menentukan kelulusan para peserta Simanila.
Keterlibatan langsung itu dilakukan Karomani dengan memerintahkan Heryandi sebagai Wakil Rektor I dan Budi Sutomo selaku Kepala Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat serta melibatkan Muhammad Basri selaku Ketua Senat untuk turut serta menyeleksi secara personal terkait kesanggupan orang tua mahasiswa yang apabila ingin dinyatakan lulus maka dapat dibantu dengan menyerahkan sejumlah uang selain uang resmi yang dibayarkan sesuai mekanisme yang ditentukan pihak universitas. Karomani memberikan tugas khusus bagi 3 orang itu untuk mengumpulkan sejumlah uang yang disepakati dengan pihak orang tua peserta Simanila yang sebelumnya telah dinyatakan lulus berdasarkan penilaian yang sudah diatur Karomani.
Besaran uang yang telah disepakati minimal Rp 100 juta sampai Rp 350 juta per orang. Andi Desfiandi selaku salah satu keluarga calon peserta Simanila diduga menghubungi Karomani dan memberikan uang Rp 150 juta karena anggota keluarganya telah dinyatakan lulus Simanila atas bantuan Karomani.
Uang itu dikumpulkan Karomani ke seseorang bernama Mualimin selaku dosen. KPK menyebut uang yang dikumpulkan Karomani ke Mualimin adalah Rp 603 juta dan telah digunakan Rp 575 juta untuk keperluan pribadi.
Selain itu, Karomani diduga mengumpulkan uang juga melalui Budi Sutomo dan Muhammad Basri. Uang itu telah dialihkan menjadi tabungan deposito, emas batangan, dan juga masih tersimpan dalam bentuk uang tunai dengan total seluruhnya sekitar Rp 4,4 miliar.
Namun dalam operasi tangkap tangan (OTT), KPK menemukan bukti uang tunai Rp 414,5 juta; slip setoran deposito di salah satu bank sebesar Rp 800 juta; dan kunci safe deposit box yang diduga berisi emas senilai Rp 1,4 miliar. Selain itu, ada bukti lain berupa kartu ATM dan buku tabungan berisi Rp 1,8 miliar.
Atas perbuatannya, Karomani bersama Heryandi dan Muhammad Basri dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sedangkan Andi Desfiandi dijerat sebagai pemberi dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor. (Nazar/Red)