Bandar Lampung – Dalam Rapat Paripurna DPR RI, “Rancangan Perubahan Ketiga UU Nomor 1” yang berisi tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia atau lebih dikenal dengan “RUU Polri” telah resmi disahkan sebagai usulan inisiatif DPR.
RUU ini memuat beberapa ketentuan yang kontroversial dan berpotensi memperluas kewenangan Polri secara berlebihan, menjadikannya sebuah lembaga “superbody” yang tidak terkendali. Namun, di balik perluasan kewenangan tersebut, RUU ini dinilai gagal menyoroti berbagai permasalahan mendasar yang telah lama mengakar di tubuh kepolisian.
Banyak catatan dari masyarakat sipil dan beberapa lembaga negara menunjukkan bagaimana Polri sering kali menjadi aktor monopoli dalam berbagai tindakan kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, salah urus, penyalahgunaan kekuasaan, dan bahkan korupsi. Kontras, sebuah lembaga advokasi hak asasi manusia, mencatat setidaknya ada 651 kasus kekerasan yang melibatkan polisi antara Juli 2020 hingga Juni 2021.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jumlah kasus ini meningkat menjadi 677 kasus pada periode yang sama di tahun berikutnya, dan sebanyak 622 kasus terjadi antara Juli 2022 hingga Juni 2023. Di tahun 2024, dari Januari hingga April, Kontras mencatat telah terjadi 198 peristiwa kekerasan yang melibatkan polisi.
Data dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa kepolisian menjadi institusi yang paling banyak diadukan terkait kasus pelanggaran HAM, dengan total 771 kasus dari 2.753 aduan yang diterima. Data ini konsisten dengan laporan tahun sebelumnya, di mana pada tahun 2022 Polri tercatat sebagai institusi yang paling banyak dilaporkan dengan 861 kasus pelanggaran.
Selain kekerasan dan pelanggaran HAM, dugaan korupsi juga kerap mencuat di tubuh Polri. Salah satu contohnya adalah temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Juli 2023, yang mengungkapkan adanya praktik tender palsu dalam pengadaan amunisi dan gas air mata pada masa pemerintahan Jokowi.
Dugaan tersebut melibatkan perusahaan palsu yang memenangkan tender dengan menaikkan harga. Praktik-praktik korupsi semacam ini tidak hanya mencoreng citra Polri, tetapi juga menunjukkan betapa lemahnya mekanisme pengawasan dan kontrol internal di tubuh kepolisian.
RUU Polri ini tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan kepentingan masyarakat sipil. Sebaliknya, RUU ini justru memperluas kewenangan kepolisian yang dikhawatirkan dapat menjadi alat politik untuk menekan masyarakat dan melanggengkan kekuasaan penguasa negara.
RUU ini juga berpotensi menghidupkan kembali dwi fungsi ABRI, yang menggabungkan peran militer dan polisi sebagai aktor politik, sebuah praktik yang seharusnya sudah ditinggalkan sejak era reformasi.
Pasal-pasal dalam RUU Polri yang bermasalah mencakup perluasan kewenangan Polri dalam melakukan pengawasan terhadap ruang siber, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q). Kewenangan ini memungkinkan Polri untuk memblokir akses ke dunia maya dengan alasan keamanan internal, sebuah langkah yang sangat rawan disalahgunakan untuk menekan kebebasan berpendapat dan berekspresi di media sosial dan ruang digital.
Lebih jauh, Pasal 16A RUU Polri memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan penggalangan intelijen, yang berarti Polri bisa meminta data intelijen dari lembaga lain seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS). Kewenangan ini tidak hanya menimbulkan potensi tumpang-tindih dengan lembaga intelijen lainnya, tetapi juga berisiko disalahgunakan.
Kewenangan penyadapan yang diberikan kepada Polri dalam RUU ini juga menimbulkan kekhawatiran, terutama karena Indonesia hingga saat ini belum memiliki regulasi yang jelas terkait penyadapan. Berbeda dengan KPK yang harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK sebelum melakukan penyadapan, RUU Polri ini tidak mengharuskan polisi untuk mendapatkan izin terlebih dahulu.
RUU Polri juga mengatur peran Polri sebagai “superbody investigator”, dengan kewenangan untuk mengawasi dan memberikan rekomendasi pengangkatan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan penyidik lainnya. Hal ini dapat mengganggu independensi lembaga penegak hukum lainnya seperti KPK, yang penyidiknya harus mendapatkan rekomendasi dari Kepolisian.
Selain itu, RUU ini memberikan Polri kewenangan untuk membina Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa, sebuah inisiatif yang memiliki sejarah kelam pada tahun 1998. Ketentuan mengenai PAM Swakarsa ini dikhawatirkan dapat membuka ruang bagi pelanggaran HAM dan bisnis keamanan yang merugikan masyarakat.
RUU Polri juga mengusulkan kenaikan batas usia pensiun bagi anggota Polri menjadi 60-62 tahun, dan 65 tahun bagi pejabat fungsional Polri. Kebijakan ini dikhawatirkan dapat menghambat proses regenerasi dalam tubuh kepolisian, serta tidak menyelesaikan masalah penumpukan jumlah perwira tinggi dan menengah.
Yang lebih mengkhawatirkan, RUU ini tidak secara tegas mengatur mekanisme pengawasan terhadap Polri dan anggotanya. Komisi Kode Etik Kepolisian dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga pengawas, tidak diberikan kewenangan yang cukup untuk menindak pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri. Tanpa adanya pengawasan yang efektif, impunitas bagi anggota Polri yang melanggar hukum akan terus berlanjut.
RUU Polri ini, jika disahkan tanpa perubahan yang signifikan, akan menjadi ancaman nyata bagi demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia. Kewenangan yang terlalu besar tanpa diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang memadai, hanya akan memperkuat posisi Polri sebagai alat politik yang bisa digunakan untuk melanggengkan kekuasaan, serta menekan kebebasan dan hak-hak warga negara.