Bandar Lampung, (dinamik.id) — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat pencalonan kepala daerah yang diumumkan pada Selasa, 20 Agustus 2024, disambut gembira oleh berbagai kalangan.
Banyak pihak mengapresiasi langkah berani dan revolusioner MK yang juga mengembalikan kepercayaan publik pada lembaga tersebut, setelah sebelumnya MK banyak dihujat terkait keputusan tentang batas usia wakil presiden.
Namun, beberapa jam setelah keputusan tersebut, muncul isu adanya upaya untuk menjegal dan menganulir putusan MK melalui langkah-langkah politik.
Beredar pesan berantai di aplikasi WhatsApp yang mengundang anggota DPR untuk rapat membahas UU Pilkada pada Rabu, 21 Agustus 2024. Beberapa pihak menganggap pembahasan ini berpotensi untuk menganulir keputusan MK.
Isu lain yang beredar adalah kemungkinan penjegalan putusan MK melalui jalur Perppu, sehingga keputusan MK tidak bisa diterapkan dalam pilkada tahun ini.
Sejumlah elemen masyarakat menyampaikan kekhawatiran mereka melalui media sosial. Beberapa diantara mereka mengunggah undangan rapat Baleg DPR mengenai revisi UU Pilkada.
Mereka juga menyerukan gerakan untuk mengawal putusan MK dengan tagar #KawalPutusanMK, yang kini menjadi trending topic di aplikasi X (sebelumnya Twitter).
Final dan Mengikat
Akademisi Universitas Muhammadiyah Lampung, Chandrawansah, menjelaskan bahwa Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 membuka kesempatan bagi partai yang tidak memiliki kursi DPRD untuk ikut berkontestasi di pilkada.
Hal ini memberi kesempatan yang sama bagi semua partai politik untuk mengusung bakal pasangan calon kepala daerah. Menurutnya, putusan ini juga memberikan harapan baru bagi perkembangan demokrasi di berbagai daerah.
Chandrawansah menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang dan putusannya bersifat final serta mengikat. “Putusannya bersifat final dan mengikat,” ujarnya.
Terkait dengan gerakan #KawalPutusanMK yang saat ini sedang trending, Chandrawansah menilai bahwa itu merupakan bagian dari kecintaan masyarakat terhadap proses demokrasi.
“Ini merupakan bagian atraktif dari kecintaan masyarakat terhadap demokrasi yang dijalankan secara prosedural dan substantif,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa meskipun putusan Nomor 60 merupakan angin segar bagi demokrasi, ke depannya akan terlihat apakah partai politik akan berani mengusung bakal calon sendiri atau tetap bergantung pada koalisi besar.
Senada dengan itu, Pengamat Politik dan Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Lampung (UNILA), Budiyono menjelaskan bahwa putusan MK mengenai persyaratan pencalonan kepala daerah bersifat final dan mengikat.
“Putusan MK adalah bersifat final dan mengikat semua pihak artinya KPU, bawaslu dan DPR serta seluruh masyarakat serta lembaga negara harus mentaatinya dan melaksanakan putusan MK,”ujarnya.
Budiyono menegaskan bahwa jika ada pihak yang tidak mentaati atau melaksanakan putusan tersebut, maka itu merupakan pelanggaran terhadap UUD dan Pancasila. Karena itu, DPR seharusnya memperkuat putusan tersebut, bukan sebaliknya.
“Apabila tidak mentaati dan melaksanakan putusan berarti pelanggaran dan pembangkangan terhadap UUD 45 dan Pancasila karena itu DPR harus menguatkan putusan MK bukan menganulir apalagi tidak melaksanakan putusan MK,” paparnya.
Ia menilai bahwa gerakan #KawalPutusanMK adalah hal yang wajar dan penting dilakukan oleh masyarakat sebagai kontrol sosial.
“Ini merupakan hal yang wajar serta wajib bagi kita semua anak bangsa untuk mengawal putusan MK. Karena kalau tidak kita kawal, maka negara menghadapi demokrasi yang semakin suram,” tegasnya. (Amd)