Bandar Lampung (Dinamik.id) – Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan hasil pemenang pemilihan presiden (pilpres) 2024 pada Rabu 20 Maret 2024 dengan menetapkan Pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang dengan memperoleh suara 58,59%. Pasangan Anies-Muhaimin Iskandar memperoleh 24,95% dari suara sah. Sementara itu, pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD mengumpulkan 16,47% dari suara sah.
Hasil pilpres 2024 tersebut menjadi jelas tahapan selanjutnya yakni berdasarkan konstitusi UUD 1945 dan kesinambungan pemerintahan Republik Indonesia, maka perlu dilakukan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI. Konstitusi Indonesia menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Tradisi selama ini selalu menempatkan pelantikan di Jakarta sebagai ibu kota negara dan pusat pemerintahan.
Jakarta memegang peran penting dalam sejarah bangsa, menjadi simbol kedaulatan negara sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945. Di sinilah institusi-institusi utama pemerintahan dan lembaga negara bekerja, termasuk MPR yang memiliki mandat konstitusional untuk melantik presiden.
Di tengah perubahan konstitusi tentang Ibu Kota Negara ini, pertanyaan yang muncul, apakah lokasi pelantikan akan menandai pergeseran pusat simbolis kekuasaan dari Jakarta ke Nusantara, ataukah Jakarta akan tetap menjadi pusat simbolis, sementara IKN menjadi pusat administratif? Namun, pertanyaan lainnya yang memicu polemik adalah alas konstitusi yang mendasari sebagai dasar pelantikan presiden itu sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Polemik Konstitusi
Polemik terkait konstitusi pelantikan Presiden RI mengemuka dalam wacana kebijakan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke IKN di Kalimantan Timur.
Berdasarkan UUD 1945, tidak ada ketentuan tegas yang menyebutkan bahwa pelantikan presiden harus dilakukan di Jakarta. Hal ini memicu perdebatan tentang apakah pelantikan presiden yang dijadwalkan pada 20 Oktober 2024 akan berpotensi melanggar ketentuan konstitusi?
Secara konstitusional, Pasal 9 UUD 1945 hanya mengatur bahwa Presiden dan Wakil Presiden dilantik oleh MPR, tanpa menyebutkan lokasi spesifik pelantikannya.
Polemik muncul terkait implikasi hukum dan politik dari pemindahan lokasi pelantikan. Bahwa perubahan tempat pelantikan harus dilakukan dengan kehati-hatian, mengingat Jakarta masih menjadi pusat ekonomi dan simbol politik yang kuat.
Di sisi lain, Pasal 1 ayat 2 UU 3/2022 tentang IKN menyatakan bahwa ‘Ibu Kota Negara bernama Nusantara dan disebut sebagai Ibu Kota Nusantara adalah selanjutnya satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus setingkat provinsi yang wilayahnya menjadi tempat kedudukan Ibu Kota Negara sebagaimana ditetapkan dan diatur dengan Undang-Undang ini’. Artinya secara konstitusi IKN secara sah merupakan Ibu Kota Negara.
Kondisi tersebut menegaskan bahwasanya Jakarta bukan lagi sebagai Ibu Kota Negara memunculkan polemik konstitusi pelantikan Presiden terpilih. Apalagi pengaturan bunyi Pasal 2 ayat 1 UU 2/2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta bahwa ‘Dengan Undang-Undang ini, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta diubah menjadi Provinsi Daerah Khusus Jakarta’. Sehingga sangat jelas status Jakarta sudah bukan lagi sebagai Ibukota Negara.
Oleh sebab itu, pelantikan presiden di Jakarta, yang selama ini dianggap sesuai dengan tradisi kenegaraan, kini berpotensi inkonstitusional dengan hadirnya UU IKN dan UU DKJ. Secara konstitusional, perpindahan ini mengubah status Jakarta dan IKN sendiri sebagai ibu kota negara. Sehingga, dengan adanya UU tersebut, ada pandangan bahwa Jakarta tak lagi memiliki legitimasi penuh sebagai lokasi pelantikan presiden jika ibu kota resmi sudah berpindah, meski proses transisi belum sepenuhnya selesai.
Jika pelantikan presiden tetap dilakukan di Jakarta, tanpa ada penyesuaian dengan UU IKN atau proses transisi yang belum tuntas sangat berpotensi gugatan konstitusi atas pelantikan presiden RI tersebut.
Namun, polemik ini juga menyentuh isu teknis terkait status transisi ibu kota. Meski UU IKN sudah disahkan, Jakarta secara fungsional masih menjadi pusat kegiatan pemerintahan. Meski begitu, tanpa kepastian mengenai waktu yang tepat bagi perpindahan pelantikan ke IKN, perdebatan konstitusional ini dapat terus berlanjut, membuka ruang bagi potensi gugatan hukum.
Tawaran Solusi
Untuk menyelesaikan polemik terkait pelantikan Presiden RI yang diperdebatkan antara Jakarta ataukah di IKN, diperlukan solusi yang melibatkan aspek hukum, politik, dan simbolisme kenegaraan. Perlu berbagai langkah yang harus diambil secara tegas dan berkepastian hukum untuk mengatasi polemik dimaksud.
Polemik pelantikan presiden ini harus dijawab dengan ketegasan pemerintah saat ini yang perlu menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) untuk menetapkan secara pasti status ibu kota negara, termasuk tahapan perpindahan dari Jakarta ke IKN.
Sebab, Keppres ini merupakan turunan dari amanat UU IKN pada Pasal 4 ayat 2 UU yang berbunyi ‘Pengalihan kedudukan, fungsi, dan peran Ibu Kota Negara dari Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara ditetapkan dengan Keputusan Presiden.’
Selain itu, Keppres ini juga memberikan landasan hukum yang sangat jelas terkait apakah pelantikan presiden masih sah dilakukan di Jakarta selama masa transisi, atau apakah IKN sudah berfungsi sebagai ibu kota penuh yang juga menjadi lokasi pelantikan. Kejelasan hukum ini akan menghindari potensi gugatan yang mungkin muncul.
Jika diperlukan, UU IKN bisa direvisi atau dilengkapi untuk mengatur secara eksplisit mekanisme pelantikan presiden di masa transisi ibu kota. Misalnya, UU tersebut dapat mengatur bahwa selama masa pembangunan dan perpindahan ke IKN, pelantikan presiden masih dilakukan di Jakarta, dan hanya setelah proses perpindahan selesai, pelantikan dilakukan di IKN. Ini akan memberikan kepastian hukum dan menyelesaikan polemik yang ada saat ini.
Selain itu, solusi terbaik adalah mencapai kesepakatan politik antara berbagai lembaga negara, termasuk MPR, DPR, dan pemerintah untuk menentukan lokasi pelantikan presiden dengan mempertimbangkan aspek simbolis dan politik. Apakah itu di Jakarta atau IKN, keputusan ini perlu disepakati bersama dengan pertimbangan yang matang agar tidak menimbulkan resistensi di kalangan masyarakat maupun elite politik.
Haris Pertama Ketua Umum DPP KNPI