Bandar Lampung, (dinamik.id) — Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 yang berlangsung pada 27 November lalu mencatatkan rendahnya partisipasi pemilih di berbagai daerah di Indonesia.
Dalam sistem demokrasi Indonesia, pemenang kontestasi pemilihan pemimpin ditentukan berdasarkan jumlah suara terbanyak.
Pengamat politik dan Akademisi Universitas Muhammadiyah Lampung, Candrawansyah, mengatakan bahwa rendahnya partisipasi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik struktural maupun kultural. Menurutnya, partisipasi sangat penting karena pemilihan kepala daerah di Indonesia menggunakan sistem suara terbanyak.
Beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi pemilih antara lain :
1. Ketidakpercayaan terhadap proses Politik. Banyak masyarakat merasa bahwa hasil Pemilihan Kepala Daerah tidak membawa perubahan nyata dalam kehidupan mereka. Ketidakpercayaan terhadap penyelenggara pemilu atau tuduhan manipulasi hasil suara dapat mengurangi semangat untuk berpartisipasi.
2. Kurangnya kesadaran Politik. Tingkat pendidikan politik masyarakat yang kurang menyebabkan mereka kurang memahami pentingnya Pilkada dalam menentukan masa depan daerah. Padahal sekali lagi, pemilihan Kepala Daerah dengan sistem suara terbanyak.
3. Kandidat yang tidak menarik bagi masyarakat. Jika kandidat yang maju dianggap tidak kompeten, tidak memiliki integritas, atau tidak mewakili aspirasi masyarakat, banyak pemilih yang menjadi apatis. Prinsip mereka terkadang, milih dan tidak memilih sama saja.
4. Pengaruh politik uang. Praktik politik uang menciptakan persepsi negatif tentang Pemilihan Kepala Daerah. Sebagian masyarakat merasa suara mereka hanya dihargai sebatas materi, bukan kepentingan jangka panjang, dikarenakan misal dalam pemilihan karena tidak ada yang membagi uang atau sembako, maka mereka tidak mau ke TPS dikarenakan suara mereka tidak dianggap.
5. Sosial ekonomi. Pemilih dari kelompok ekonomi lemah seringkali lebih fokus pada kebutuhan mendesak daripada ikut Pemilihan Kepala Daerah. Warga yang bekerja di luar daerah atau memiliki mobilitas tinggi mungkin tidak bisa pulang untuk memberikan suara. Apalagi kalau diukur dengan apabila mereka pulang untuk memilih maka akan mengganggu ekonomi mereka.
6. Kurangnya sosialisasi dan akuratnya data pemilih. KPU dan pemerintah daerah terkadang kurang maksimal dalam menyampaikan informasi Pilkada, termasuk pentingnya partisipasi dan cara memilih. Keakuratan Daftar Pemilih Tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari menyumbang partisipasi pemilih. DPT yang tidak akurat atau valid akan sangat berpengaruh kepada partisipasi, misal masih ditemukan dalam DPT orang yang sudah meninggal, pindah domisili, maupun orang yang seharusnya masuk DPT malah tidak masuk. Sehingga ada keengganan masyarakat menggunakan KTP dan memilih di atas pukul 12.00.
7. Budaya apatis masyarakat dengan sikap tidak peduli terhadap politik dan pemerintahan berkembang karena pengalaman masa lalu yang mengecewakan, seperti janji kampanye yang tidak ditepati oleh calon incumbent.
8. Hambatan teknis berupa Lokasi TPS yang sulit dijangkau, cuaca buruk, atau infrastruktur yang kurang memadai dapat menghalangi pemilih untuk hadir.
Candrawansyah menekankan bahwa peningkatan partisipasi Pilkada memerlukan upaya bersama. Penyelenggara pemilu harus meningkatkan kepercayaan publik melalui transparansi dan profesionalisme.
“Sosialisasi masif, pendidikan politik, dan perbaikan DPT harus menjadi prioritas,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya kandidat yang kompeten dan infrastruktur memadai untuk memudahkan pemilih.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan masyarakat semakin sadar akan pentingnya peran mereka dalam Pilkada.(Amd)