BANGKA (dinamik.id) – Keadilan haruslah merata. Hal ini terpantau dalam kasus dugaan korupsi dalam perdagangan timah di wilayah Izin Usaha PT Timah Tbk tahun 2015 hingga 2022 yang menghebohkan masyarakat Bangka Belitung.
Salah satu smelter, PT Artha Cipta Langgeng (ACL), masih belum menjadi fokus Penyidik Kejaksaan Agung, meskipun diduga terlibat dalam kerja sama dengan PT Timah Tbk pada tahun 2019. Kerjasama ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kedalaman skandal korupsi di sektor pertambangan timah di daerah tersebut.
Menurut sumber, smelter PT ACL yang terletak di Bangka, khususnya di Jalan TPA Kelurahan Kenanga, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, diduga terlibat dalam peleburan bijih timah hasil tambang dari IUP PT Timah.
Pada tahun 2019, smelter ini berkolaborasi dengan PT Timah Tbk, dengan rata-rata peleburan harian mencapai 50 ton timah. Sumber tersebut juga menyebutkan bahwa smelter ACL merupakan bagian dari jaringan PT RBT, yang sebelumnya terlibat dalam kasus korupsi.
Meskipun smelter ACL telah berkolaborasi dengan PT Timah Tbk, beberapa pejabat di smelter tersebut memilih untuk tidak memberikan komentar saat dihubungi oleh wartawan.
Keputusan untuk tetap diam ini menjadi mencolok, terutama setelah dua pejabat PT RBT yang terlibat dalam kasus ini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Tim Penyidik dari Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).
Berkaitan dengan penanganan kasus, Tim Penyidik menetapkan dua tersangka baru, yakni SP sebagai Direktur Utama PT RBT dan RA sebagai Direktur Pengembangan Usaha PT RBT.
“Kasus ini mengungkap pertemuan pada tahun 2018, di mana kedua tersangka bersama-sama dengan MRPT alias RZ, selaku Direktur Utama PT Timah Tbk, dan EE selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk, menginisiasi pertemuan untuk menyelesaikan penambangan timah ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk,” kata sumber tersebut.
Dalam pertemuan tersebut, SP dan RA menetapkan harga dan pelaksanaan kegiatan ilegal, yang kemudian disetujui dan dibalut dengan perjanjian sewa-menyewa peralatan pemrosesan peleburan timah oleh MRPT dan EE.
Kegiatan ilegal ini dilaksanakan oleh perusahaan mitra, seperti PT SIP, CV VIP, PT SBS, dan PT TIN, yang kemudian melibatkan perusahaan boneka seperti CV BJA, CV RTP, CV BLA, CV BSP, CV SJP, CV BPR, dan CV SMS.
Dua tersangka, SP dan RA, bersama dengan MRPT dan EE, kemudian menunjuk perusahaan mitra untuk melaksanakan kegiatan ilegal tersebut. Pasal yang dikenakan kepada kedua tersangka adalah Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo.
Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Untuk menjaga kepentingan penyidikan, SP dan RA telah ditahan di Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan, mulai tanggal 21 Februari 2024 hingga 11 Maret 2024.
Sementara itu, smelter ACL yang terlibat dalam kerjasama dengan PT Timah Tbk masih menjadi misteri tersendiri, belum ditelusuri oleh Penyidik Kejaksaan Agung.
Aktivis Bangka Belitung, Suhendro, mendesak Kejaksaan Agung untuk menyelidiki Smelter PT ACL dalam kerjasamanya dengan PT Timah di bidang peleburan dan pengelolaan sisa hasil produksi (SHP) di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Timah selama 2015-2022.
Publik menantikan perkembangan lebih lanjut dari kasus ini, apakah jajaran pengurus smelter ACL akan ikut diperiksa atau sama sekali tidak terpengaruh atas keterlibatan dalam korupsi komoditas timah di Bangka Belitung. (Pin)