Bandar Lampung, (Dinamik.id) — Front Aksi Anti Gratifikasi (FAGAS) mendorong Aparat Penegak Hukum (APH) untuk mengusut secara menyeluruh temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dugaan penyimpangan anggaran di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) Provinsi Lampung.
Dalam laporan yang disampaikan Panitia Khusus (Pansus) LHP BPK DPRD Provinsi Lampung pada Rapat Paripurna, terungkap berbagai kejanggalan pengelolaan keuangan di RSUDAM pada Tahun Anggaran 2024, saat rumah sakit tersebut dipimpin oleh dr. Lukman Pura, Sp.PD-KGH., MHSM
Koordinator Lapangan FAGAS, Wahyu Setiawan, menilai temuan BPK di RSUDAM merupakan bentuk kelalaian penggunaan dana publik yang harus dipertanggungjawabkan didepan hukum.
“Temuan BPK itu bukan hanya masalah soal pengembalian, tidak bisa mentang-mentang dikembalikan lalu serta-merta dimaafkan, karena ini salah satu bentuk kejahatan, maka harus dikaji dari sisi unsur pidana,” tegas Wahyu pada Dinamik.id.
Ia pun mendorong Gubernur Lampung melalui Inspektorat untuk memberikan sanksi tegas kepada Lukman Pura, Sp. PD K-GH., MHSM. yang kini menjabat sebagai Staf Ahli Gubernur Bidang Kemasyarakatan dan SDM Provinsi Lampung atas penyimpangan anggaran di RSUDAM sebagai bentuk kelalaian dalam pengelolaan dana publik sektor kesehatan yang berpotensi mengarah pada tindak pidana korupsi.
Ketua Umum FAGAS, Fadli Khoms menambahkan bahwa temuan BPK bisa dilaporkan kembali kepada APH.
“Pegawai negeri yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana, hal itu tertulis pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, yaitu pada Pasal 64 Ayat (1),” ungkapnya.
Lebih lanjut, menurut Fadli setiap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK yang mengandung indikasi merugikan keuangan negara seyogyanya harus dilaporkan ke instansi berwenang, seperti kejaksaan dan polisi.
Hal itu dilakukan, untuk melihat apakah terjadinya kerugian negara itu diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum atau tidak.
“Itu merupakan wewenang penyidik. Sementara, kewenangan BPK hanya pada menetapkan ganti rugi yang merupakan sanksi administrasi. Sedangkan tugas penegak hukum adalah untuk menemukan adanya perbuatan pidana. dan untuk selanjutnya memberikan sanksi pidana,” imbuhnya.
Selain itu, Fadli menambahkan bahwa dengan adanya pernyataan BPK pada LHP mengenai telah terjadi kerugian negara di RSDUAM dengan menyebut jumlah kerugian negara dan ketidaksesuaian dengan peraturan perundang-undangan, maka sebenarnya telah memiliki rumusan yang sejalan dengan unsur-unsur pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Untuk itu, Fagas mendesak BPK harus bekerjasama dengan APH untuk mengungkap permainan anggaran yang ada di RSDUAM selama dibawah kepemimpinan Lukman Pura.
“Temuan BPK terkait laporan hasil pemeriksaan BPK atas kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dapat ditindaklanjuti oleh APH untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, terkait adanya perbuatan tindak pidana korupsi,” Tutup Fadli.
Sementara, hingga berita ini diturunkan, pihak RSUDAM belum memberikan tanggapan saat dikonfirmasi oleh wartawan dinamik.id.
Untuk diketahui, juru bicara Pansus LHP BPK DPRD Lampung, Budhi Condrowati, dalam rapat paripurna DPRD Provinsi Lampung, Selasa (17/06/2025), memaparkan berbagai kejanggalan dalam pengelolaan anggaran di RSUD Abdul Moeloek, diantaranya;
Menyangkut pembangunan infrastruktur rumah sakit. Terdapat kelebihan pembayaran atas kekurangan volume dan ketidaksesuaian spesifikasi belanja modal gedung dan bangunan yaitu pembangunan ruang CATHLAB sebesar Rp 69.438.687.
Selain itu, terdapat potensi kelebihan pembayaran kekurangan volume atas penyedia jasa konstruksi pembangunan gedung nuklir Rp 896.867.485,74. Dan potensi kekurangan penerimaan denda keterlambatan sebesar Rp 370.185.534,39.
Tak hanya itu, RSUDAM dinilai keliru dalam melakukan penganggaran. Terdapat kesalahan penganggaran dalam pengalokasian anggran belanja yang seharusnya menggunakan klsifikasi belanja modal supaya menghasilkan aset tetap, tapi justru menggunakan belanja barang dan jasa sebesar Rp 9.243.014.000.
Masalah lainnya terdapat kelebiharı pembayaran terhadap realisasi belanja gaji dan tunjangan PNS yang harus segera disetorkan ke kas daerah sebesar Rp 17.704.200.
Pansus juga menyoroti aspek penatausahaan dan Pengelolaan Persediaan barang yang dinilai tidak optimal.
“Pengurus barang dan petugas gudang tidak mencatat seluruhnya mutasi keluar masuk barang sehingga berpotensi penyimpangan barang,”katanya.
Oleh karena itu, Condrowati mengatakan, Pansus LHP BPK merekomendasikan Direksi rumah sakit harus melakukan reformasi tata kelola keuangan dan aset, khususnya dalam penganggaran, klasifikasi belanja, serta pengawasan fisik atas proyek konstruksi.
“Langkah penting meliputi penguatan peran SPI, optimalisasi e-logistik, dan sanksi tegas terhadap rekanan yang wanprestasi. Temuan-temuan keuangan akan dikategorikan sebagai kelalaian dalam pengelolaan dana publik sektor kesehatan dan dapat dikenai pidana korupsi,” pungkasnya. (Amd)