Oleh Dr Edarwan SE,MSi (Ketua Keluarga Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis/KAFE UNILA)
SETIAP musim hujan tiba, masyarakat Bandar Lampung dihantui kecemasan. Dalam beberapa tahun terakhir, catatan penulis, kota ini telah mengalami empat kali banjir besar, dengan dampak yang semakin parah dari tahun ke tahun.
Celakanya, tidak hanya rumah dan fasilitas umum yang terendam, tetapi juga banyak nyawa melayang, usaha bangkrut, dan infrastruktur hancur. Fenomena ini bukan lagi sekadar bencana alam, tetapi juga cerminan dari lemahnya sistem tata kelola perkotaan dan minimnya koordinasi antar-pemerintah.
Mengapa Bandar Lampung Terus Gagal?
Kegagalan Bandar Lampung dalam mengatasi banjir bukan hanya karena faktor alam, tetapi juga akibat tata kelola yang kurang efektif. Beberapa faktor utama yang menyebabkan kegagalan ini antara lain:
Kurangnya perencanaan jangka panjang: Pemerintah cenderung bersifat reaktif dalam menangani banjir, hanya bertindak ketika bencana sudah terjadi, bukan melakukan pencegahan yang sistematis.
Koordinasi antar-lembaga yang lemah: Program penanggulangan banjir sering kali berjalan sendiri-sendiri tanpa sinkronisasi antara pemerintah kota, provinsi, dan pusat.
Minimnya anggaran dan dugaan korupsi: Anggaran infrastruktur drainase dan pengelolaan lingkungan sering kali tidak mencukupi atau bahkan disinyalir diselewengkan.
Kurangnya partisipasi masyarakat: Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga lingkungan masih rendah, terlihat dari kebiasaan membuang sampah sembarangan dan membangun permukiman di daerah resapan air.
Tanpa pembenahan dalam aspek-aspek tersebut, banjir akan terus menjadi bencana tahunan yang menghambat kemajuan Bandar Lampung. Dibutuhkan langkah konkret, bukan sekadar janji politik, untuk benar-benar mengatasi masalah ini secara berkelanjutan.
Kerugian Ekonomi yang Tak Terelakkan
Dari sisi ekonomi, banjir membawa dampak yang begitu luas. Kerugian langsung berupa rusaknya jalan, jembatan, saluran drainase, hingga pusat perdagangan, menyebabkan aktivitas ekonomi lumpuh dalam waktu yang tidak sebentar.
Sektor usaha kecil dan menengah (UMKM) menjadi yang paling terpukul, dengan kehilangan modal kerja dan terhentinya produksi. Di sektor transportasi, kemacetan dan gangguan logistik meningkatkan harga bahan pokok, memicu inflasi lokal yang membebani masyarakat.
Petani dan nelayan juga tidak luput dari dampaknya—sawah tergenang, tambak hancur, dan panen gagal, menyebabkan krisis pasokan pangan serta menurunkan pendapatan mereka secara drastis.
Beban Fiskal dan Hilangnya Daya Saing Investasi
Dampak tidak langsung dari banjir ini jauh lebih mengkhawatirkan. Gangguan pada aktivitas ekonomi berimbas pada berkurangnya pendapatan daerah dan meningkatnya beban fiskal pemerintah.
Alih-alih berinvestasi pada pembangunan jangka panjang, anggaran daerah tersedot untuk pemulihan bencana yang terus berulang. Tidak hanya itu, daya tarik investasi ke Bandar Lampung semakin merosot karena kota ini dianggap berisiko tinggi, yang berujung pada minimnya pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Tanpa pembenahan dalam aspek-aspek tersebut, banjir akan terus menjadi bencana tahunan yang menghambat kemajuan ibukota Provinsi Lampung ini. Dibutuhkan langkah konkret, bukan sekadar janji politik, untuk benar-benar mengatasi masalah ini secara berkelanjutan
Revitalisasi Drainase dan Tata Ruang: Langkah Mendesak
Dalam menghadapi krisis ini, diperlukan strategi komprehensif yang tidak hanya bersifat reaktif tetapi juga preventif. Pemerintah Kota Bandar Lampung harus segera merevitalisasi sistem drainase dengan memperluas saluran air, membangun deep tunnel, dan memasang pompa otomatis di titik-titik rawan banjir.
Pengendalian tata ruang menjadi keharusan, dengan menertibkan pembangunan liar di daerah resapan dan memperketat regulasi zonasi. Selain itu, kesadaran masyarakat juga harus dibangun—pembuangan sampah sembarangan ke sungai dan pola konsumsi lahan yang tidak berkelanjutan harus dihentikan.
Peran Strategis Pemerintah Provinsi
Pemerintah Provinsi Lampung memiliki peran krusial dalam koordinasi lintas wilayah, khususnya dalam mengelola Daerah Aliran Sungai (DAS). Deforestasi di hulu sungai harus dihentikan dan kawasan resapan air harus segera direhabilitasi.
Normalisasi sungai, pembangunan bendungan kecil, serta kebijakan insentif bagi pengelolaan lingkungan harus menjadi prioritas. Selain itu, pemerintah provinsi harus memastikan tersedianya dana khusus untuk mitigasi banjir serta mengembangkan skema pembiayaan berbasis kemitraan publik-swasta (public-private partnership).
Keterlibatan Pemerintah Pusat dalam Infrastruktur Pengendalian Banjir
Di tingkat pusat, Kementerian Pekerjaan Umum harus turun tangan dengan mempercepat pembangunan infrastruktur pengendalian banjir, seperti embung, kanal, dan sistem drainase berbasis teknologi cerdas (smart water management).
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup harus lebih tegas dalam menegakkan kebijakan konservasi, menghentikan konversi lahan yang tidak terkendali, dan memulihkan ekosistem yang telah rusak. Di sisi lain, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) perlu memperkuat sistem peringatan dini serta meningkatkan kapasitas daerah dalam merespons dan mengantisipasi bencana banjir.
Whole of Government: Pendekatan yang Harus Diterapkan
Pendekatan Whole of Government menjadi satu-satunya cara untuk menghentikan siklus bencana ini. Jika pemerintah kota, provinsi, dan pusat tetap bekerja dalam silo tanpa koordinasi yang baik, maka banjir akan terus menjadi momok tahunan bagi Bandar Lampung.
Sudah saatnya kita berhenti mencari kambing hitam dan mulai bekerja sama dalam menyusun solusi yang berkelanjutan. Tanpa langkah nyata dan komitmen politik yang kuat, kita hanya akan terus mengulang sejarah kelam banjir yang tak kunjung berakhir.
Penulis : Dr Edarwan SE M.Si
Editor : Pina